Tribana

Ini Adalah Blog pribadi saya yang bercerita tentang suka duka menjadi GURU

05.21

Akankah SDM “Kartini” Mengungguli … ?

Diposting oleh Tri Bana

Tanggal 21 April identik dengan Hari Kartini, peringatan hari kelahiran tokoh wanita Indonesia, penulis buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kartinilah yang membuka “mata” kaum wanita Indonesia bahwa kaumnya punya hak—yang harus diperjuangkan—di samping kewajiban. Istilah hak emansipasi pun pepuler karenanya. Masih perlukah hak emansipasi itu diperjuangkan?
Sekarang, tanggal 21 April ini bukanlah sekadar peringatan untuk mengenang jasa R.A. Kartini. Hari Kartini sekurang-kurang dipakai sebagai ajang melihat bagaimana kiprah kaum wanita Indonesia sehingga pada akhirnya tidak perlu lagi ada menteri yang mengurusi kaum wanita karena wanita benar-benar sudah sejajar dengan kaum laki-laki. Adanya menteri mengurus soal wanita memberikan kesan bahwa wanita belum maju.
Berbicara masalah wanita, memang terlalu luas ruang lingkupnya. Untuk itulah penulis batasi kepada kelompok wanita remaja putri. Bagaimana kiprah remaja putri kita, tampaknya ada baiknya kita angkat sebagai isu dan bahan diskusi. Remaja putri yang akan penulis kemukakan adalah remaja putri yang umumnya berstatus sebagai pelajar. Penulis yang kebetulan sebagai seorang guru akan menyoroti isu-isu seputar kiprah remaja putri di sekolah. Demikian juga aktivitas lawan jenisnya, para pelajar putra sebagai kaum laki-laki sebagai pembanding.
Bagaimana keseriusan remaja putri (kaum wanita) belajar dibandingkan dengan remaja putra (kaum laki-laki) di sekolah? Apa yang penulis kemukakan berikut ini bukanlah hasil penelitian ilmiah, melainkan kesan dari pengamatan sekilas. Untuk meyakinkan kesan itu penulis mencoba minta informasi kepada sejumlah teman guru di lima SMA Negeri dan satu SMA swasta favorit di kota Denpasar. Dari semua guru yang dimintakan informasi itu diperoleh data bahwa kesungguhan belajar lebih banyak pada murid wanita. Kalau dilihat dari peringkat satu sampai sepuluh misalnya, ternyata kebanyakan yang termasuk di dalamnya adalah pelajar wanita. Memang ada dalam kelas tertentu peringkat satu atau dua adalah murid laki-laki namun setelah dilihat sampai peringkat sepuluh ternyata didominasi oleh murid wanita.
Ada beberapa fenomena lain yang dapat dijadikan bahan diskusi atau analisis kasus. Akan dimulai dari aktivitas remaja di dalam kegiatan ekstrakurikuler; jurnalistik dan karya ilmiah remaja—kebetulan penulis menangani dan sebagai pembinanya. Kegiatan ekstrakurikuler ini lebih banyak memerlukan ketekunan di samping kecerdasan pikiran dan banyak membaca. Pesertanya hampir semuanya pelajar putri. Pada kegiatan jurnalistik yang jumlah pesertanya sekitar tiga puluh orang, hanya satu orang pelajar laki-laki (putra). Kemudian peserta ekstrakurikuler karya ilmiah remaja semuanya pelajar putri. Kondisi ini telah berlangsung beberapa tahun terakhir ini.
Bahwa anak laki-laki kurang menyukai kedua aktivitas yang memerlukan ketekunan dan olah-pikiran, telah menimbulkan pertanyaan berkaitan dengan SDM kita. Pastilah SDM di masa depan lebih banyak diperlukan kerja olah-pikiran dan ketekunan. Keunggulan manusia tidak terletak pada kekuatan kerja fisiknya, melainkan kerja pikirannya. Seperti diketahui, upah tenaga kerja yang mengandalkan kekuatan fisik pastilah lebih rendah daripada upah yang memerlukan kekuatan pikiran. Upah seorang buruh pastilah lebih kecil daripada seorang mandor.
Dalam kegiatan pembelajaran di kelas, pelajar putri lebih banyak menunjukkan kesungguhannya dibandingkan pelajar putra. Jika ada tugas yang harus dikumpulkan, misalnya: peper, kebanyakan anak putra mengumpulkan belakangan. Kalau ada tugas kelompok baik PR maupun tugas di kelas, tidak sedikit pula pelajar putra hanya menumpang nama pada tugas kelompok yang dikumpulkannya itu. Demikian pula jumlah pelajar yang mengunjungi dan meminjam buku di perpustakaan. Murid laki-laki lebih kecil jumlahnya meminjam buku atas kesadaran sendiri. Kebanyakan pelajar putra yang meminjam buku di perpustakaan itu semata-mata karena tugas atau perintah dari guru.
Mengapa remaja putri lebih tekun belajar? Kalau ditelusuri fenomena-fenomena seperti itu tentu tidak lepas dari situasi pendidikan dalam keluarga dan sosial budaya masyarakat (Bali) apalagi si anak itu adalah anak laki-laki satu-satunya. Anak laki-laki sat-satunya itu tentu diistimewakan. Permintaan-permintaannya dipenuhi begitu saja tanpa banyak pertimbangan. Misalnya, dengan menjual tanah pun jadi untuk membeli mobil—demi anak laki-laki. Kalau sudah dimanjakan secara berlebihan, tentu akan berpengaruh besar terhadap pola pikir, aktivitas belajar, dan perilaku kesehariannya. Kalau anak laki-laki lebih malas, dianggap hal yang lumrah.
Karena dalam belajar remaja putri lebih tekun, maka ada kemungkinan SDM wanita akan menggungguli SDM kaum laki-laki di masa depan. Memang kini belum banyak terjadi wanita mengungguli laki-laki sebab wanita pada masa lalu tidak banyak mengenyam pendidikan formal. Jika kasus yang penulis kemukakan juga terjadi di tempat lain apalagi secara generalisasi, tentu prediksi itu akan menjadi kenyataan.
• igk tribana

0 komentar: