Tribana

Ini Adalah Blog pribadi saya yang bercerita tentang suka duka menjadi GURU

05.32

Bagiamana Guru Menyikapi Ujian Praktik Sastra?

Diposting oleh Tri Bana

          Untuk mata pelajaran sastra, ujian tahun 2005 ini beda dengan ujian tahun-tahun sebelumnya. Di era-EBTANAS, mata pelajaran sastra menjadi salah satu ujian nasional—soal dari pusat. Setelah UAN menjadi ujian sekolah yang diselenggarakan oleh provinsi (Bali). Kini memasuki ujian tahun 2005 sepenuhnya menjadi ujian sekolah (soal disusun guru) dan dilengkapi dengan ujian praktik. Sepintas, sepertinya mengada-ngada mata pelajaran sastra ada ujian praktiknya. Pada kegiatan belajar-mengajar, tidak pernah ada program atau wujud kegiatan praktik bersastra. Walau demikian, tidaklah sulit untuk merealisasikannya. Wujud praktik mata pelajaran sastra pastilah kegiatan nyata dalam bersastra, misalnya: mengapresiasi atau aktivitas menghasilkan karya sastra.

Setelah ditetapkannya ada ujian praktik, guru sastra, penggiat sastra, dan pecinta sastra ujian praktek sastra ini akan membuat keningnya mengkerut beberapa saat. Namun yang pasti, adanya ujian praktik, sebagian guru sastra menyambutnya dengan gembira karena dapat mengajak siswa beraktivitas di bidang sastra lebih bersungguh-sungguh dalam kegiatan belajar-mengajar. Guru yang lainnya, ketika pertama kali sastra ada ujian praktek, tentu ada yang terperangah “Sekarang ada ujian praktik sastra? Mengapa mata pelajaran sastra ada praktik? Bagaimana wujudnya?” Dan, sejumlah pertanyaan lainnya. Maklumlah, karena baru pertama kali ada ujian praktik sastra.

Bagaimana sebaiknya guru sastra menyikapi ujian praktek ini? Kompetensi apa yang diharapkan oleh guru dalam ujian praktek ini harus jelas berdasarkan kurikulum yang berlaku. Menurut ketentuan atau petunjuk yang ada, bentuk ujian praktek sastra adalah lisan dan tertulis. Bagaimana bentuk ujian dalam operasionalnya, guru harus merincinya dengan presedur ujian. Operasionalnya dijabarkan lagi oleh guru mengingat keterbatasan waktu dan tenaga penguji. Di samping itu guru tentu memperhatikan pula misi pembelajaran sastra.

          Tampaknya wawasan seorang guru mata pelajaran sastra akan sangat mewarnai wujud ujian praktek mata pelajaran sastra ini. Apakah ujian praktik itu sekadar jalan untuk mencari nilai atau dirancang untuk meningkatkan mutu pembelajaran sastra itu sendiri. Guru sastra pasti mengetahui bahwa potensi murid tidak sama dalam menekuni bidang sastra. Ada anak yang suka dan punya potensi baca puisi. Ada anak yang mampu menulis puisi tetapi tidak suka membacanya. Ada anak yang punya potensi bermain/membawakan naskah drama. Ada anak yang mampu menulis cerpen, bahkan cerpennya sudah biasa dimuat di media massa. Dan yang lainnya, ada yang punya kompetensi sebatas menjadi penikmat karya sastra. Yang terakhir inilah jumlahnya paling banyak. Yang pasti, kompetensi anak berpraktik untuk semua itu tidak mungkin sama. Jika guru memaksakan anak untuk menguasai semua kompetensi itu tentu akan merugikan pembelajaran sastra itu sendiri dan kecil kemungkinannya akan tercapai. Karena main paksa, akan membuat mata pelajaran sastra itu dibenci oleh anak.

          Berdasarkan kenyataan di atas, guru perlu mempertimbangkan dari berbagai segi. Guru hendaknya juga membuat pelajaran sastra tidak dibenci oleh anak. Katakanlah semua siswa diberikan ujian praktik yang sama, misalnya: membaca puisi, atau menulis cerita pendek. Jika setiap siswa melaksanakan seperti itu dalam mata pelajaran sastra, tentu akan merugikan pembelajaran sastra. Jangankan siswa, para penekun sastra seperti guru, bahkan seniman sastra pun jarang menguasai semua kompetensi dalam bersastra. Dari ratusan bahkan ribuan penulis karya sastra, sangat jarang penulis novel juga menjadi penulis puisi yang baik. Sangat jarang pula kritikus atau apresiator sastra bisa menjadi penyair atau penulis cerpen yang baik. Mungkin di seluruh Indonesia ini bisa dihitung dengan jari tangan orang yang punya kompetensi segalanya dalam bidang sastra. Jadi yang ada, kebanyakan pengarang atau penikmat sastra menekuni salah satu kompetensi dalam aktivitas dalam bersastra.

          Mata pelajaran sastra memang agak unik. Mata pelajaran sastra berbeda dengan mata pelajaran lain, apalagi kalau dibandingkan dengan mata pelajaran yang menekankan kepada penguasaan keilmuan, seperti: sosiologi, kimia, biologi. Kalau dalam mata pelajaran lain, perbedaan pendapat itu sedapat mungkin ditiadakan, maka dalam pelajaran sastra perbedaan pendapat itu mendapat tempat yang subur khususnya dalam mengapresiasi karya sastra asal disertai dengan alasan yang kuat. Dalam menanggapi atau menghasilkan sebuah karya sastra, kesenjangan guru-murid sedapat mungkin diminimalisasi. Guru-murid memiliki hak yang sama dalam mengapresiasi sebuah karya sastra. Kalau guru sengaja membuat situasi agar pendapatnyalah yang benar, maka dapat dipastikan guru itu kurang memahami apa itu sastra. Tipe guru seperti ini sebaiknya tidak bertugas sebagai guru mata pelajaran sastra.

          Mengingat mata pelajaran sastra itu agak unik, maka sebaiknya guru memberi pilihan kepada murid untuk memilih aktivitas bersastra mana yang akan dipilih. Jika seorang murid ingin memilih aktivitas membaca puisi atau bermain drama tentulah harus diberikan kesempatan, apalagi guru tahu anak itu memang punya potensi di bidang baca puisi atau bermain drama. Anak yang lain, jika ada yang memilih menulis cerpen tentulah diberikan kesempatan lebih-lebih si anak itu telah produktif mengahsilkan cerita pendek yang telah dimuat di berbagai media. Demikian pula jika si anak hanya mampu menjadi seorang pengapresiasi atau kritikus sastra, tentulah diberi kesempatann pula.

Kalau model ujian praktik sastra telah memberi kesempatan kepada siswa memilih sesuai dengan kompetensinya, maka kesungguhan anak untuk berativitas dalam bersastra akan semakin terbuka. Mereka tidak mengalami ketakutan untuk menguasai materi ujian secara kuantitas, melainkan akan lebih mengarah kepada kondisi kualitas dalam bersastra. Kalau ternyata ada segelintir anak yang punya kompetensi di berbagai karya sastra disertai bisa menjadi pengapresiasi yang baik adalah suatu nilai lebih baginya dan layak diberikan nilai yang maksimal (nilai sepuluh) untuk praktik sastra.

1.    Pendahuluan

1.1         Latar Belakang Masalah

 

Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia selama ini belum mampu memenuhi harapan sebagaian besar masyarakat (Sayuti,2003). Bukan sebatas itu, hampir belum pernah terdengar  mutu pembelajaran sastra yang menggembirakan, seperti yang terungkap pada pertemuan sastrawan di tingkat daerah. Menurut Suminto A. Sayuti, sesungguhnya pelaksanaan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia diharapkan mampu mencapai tingkatan yang terkait dengan upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa,” menuju kehidupan yang lebih modern dan beradad.

Berkaitan dengan mutu pelajaran bahasa dan Sastra Indonesia yang belum mengembirakan itu dalam pertemuan para sastrawan di Balai Bahasa Denpasar beberapa waktu lalu seorang sastrawan, Nyoman Manda dari Gianyar, berkata “Kami siap datang ke sekolah jika diundang oleh guru sastra”. Tepuk tangan para guru dan sastrawan saat itu terdengar sebagai dukungan. Kesiapan Nyoman Manda ini disampaikan setelah salah seorang guru melontarkan permohonan agar sekali waktu sastrawan bersedia datang ke sekolah untuk berkomunikasi dengan para siswa dalam rangka menumbuhkan kualitas apresiasi sastra pada anak. Para sastrawan lain yang hadir ketika itu tampaknya juga menyetujuinya. Karena itulah para guru (termasuk penulis) menindaklanjuti kesiapan para sastrawan itu dalam meningkatkan mutu pembelajaran sastra. Penulis pun mengundang oara sastrawan ke kelas untuk berkomunikasi dengan siswa.

Sebagai suatu strategi, seorang guru mata pelajaran sastra Indonesia umumnya jarang, bahkan belum pernah, mengundang seorang sastrawan untuk hadir di depan para siswanya—salah satu konsumen karya sastra. Sesungguhnya sastrawan dengan senang hati mau datang ke kelas untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Selama ini tampaknya guru  masih menjadi “nara sumber tunggal” di dalam pembelajaran sastra. Masih disyukuri jika “nara sumber tunggal” itu mengajak anak-anak menggali nilai-nilai karya sastra (apresiasi) dalam pembelajaran sastra. Kurikulum yang baik belum tentu hasilnya baik kalau gurunya belum… Label KBK dalam kurikulum yang diterapkan di sekolah belum menjamin suasana pembelajaran di dalam kelas bernuansakan apresiasi sastra jika pihak guru belum siap.

Guru perlu mengupayakan agar kadar apresiasi sastra pada anak-anak lebih baik daripada sebelumnya. Salah satu caranya adalah mengundang sastrawan untuk bersastra dan sekaligus berkomunikasi dengan anak-anak di dalam kelas. Hadirnya sastrawan di dalam kelas akan membuat suasana pembelajaran sastra beda dengan hari sebelumnya. Cara ini diharapkan akan menjawab pertanyaan, “Betulkah anak-nak kebanyakan tidak punya minat dalam mengapresiasi karya sastra?”

 

1.2 Permasalahan

(1)   Bagaimana apresiasi sastra siswa dengan kehadiran sastrawan di kelas?

(2)   Bagaimana motivasi siswa mengapresiasi karya sastra setelah berkomunikasi dengan sastrawan?

(3)   Bagaimana tanggapan sastrawan setelah berkomuniukasi dengan siswa?

1.3

Selaku guru sastra, penulis akan berbagai pengalaman kepada rekan sejawat, guru mata pelajaran sastra. Bukanlah berlebihan kalau penulis kemukakan ketika (Kamis, 2 Desember 2004) sastrawan yang diundang itu meninggalkan sekolah menyampaikan kesannya bahwa anak cukup antusias dalam pembelajaran sastra. Tidak terasa waktu yang untuk tatap muka itersedia itu tidak cukup. Sedang hangatnya komunikasi, tanya jawab antara sastrawan dan anak-anak, bel telah berbunyi sebagai tanda waktunya habis. Menurut sang sastrawan anak telah mengapresiasi karya dengan baik—untuk ukuran seorang murid SMA. “Bagus, bagus, apresiasi anak terhadap karya sastra” kata sang sastrawan. Biasalah…selaku manusia biasa, penulis senang muridnya disanjung. Kalau dipikir-pikir, sanjungan ini adalah tantangan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sastrawan.

Hadirnya sastrawan di dalam kelas memang bukan hal baru. Program SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya), “Proyeknya Majalah Horizon” telah membuat suasana sekolah yang didatangi bernuansakan kesastraan. Sayang, kondisi ini tidak menjadikan guru punya inisiatif mengundang sastrawan lokal untuk bicara di  dalam kelas pada waktu pelajaran sastra. Wajar pula anak-anak bosan dalam pelajaran sastra. Materi pembelajaran sastranya penuh dengan hapalan-hapalan. Kalaupun suasana pembelajaran apresiatif, sering pula pihak guru kurang siap untuk berdebat dengan anak-anak selaku sama-sama pengapresiasi karya sastra. Anak-anak selalu diceramahi. Anak-anak pun takut menyampaikan pendapatnya jika berbeda dengan pendapat gurunya. Para guru yang selalu mendikte anak-anak dalam mengapresiasi sastra tentulah akan membuat pembelajaran sastra kurang bergairah.

Karena tulisan ini sifatnya lebih banyak berbagi pengalaman, maka terasa perlu diinformasikan teknis pelaksanaannya. Mudah-mudahan teman sejawat, guru-guru sastra dapat melaksanakannya. Sebagai seorang guru, tentu kita terus berupaya meningkatkan kualitas pembelajaran sastra. Kualitas pembelajaran sastra sesungguhnya bukan semata ditentukan oleh tingginya nilai rapor atau nilai ujian akhir yang diperoleh oleh para murid. Kualitas sesungguhnya akan ditentukan seberapa jauh kepekaan pikiran dan perasaan peserta didik setelah diberi pendidikan. Kalau belum, guru belum dapat menepuk dada bahwa ia telah berhasil mengemban misinya sebagai seorang guru, khususnya sebagai seorang guru sastra. Kematangan, kepekaan pikiran dan perasaan peserta didik dalam menghadapi persoalan kehidupan adalah cermin bahwa guru telah dapat “memanusiakan manusia”.

Agar terjadi komunikasi yang baik antara siswa dengan sang sastrawan, maka beberapa hari sebelumnya anak-anak ditugaskan membaca karya sastra yang ditulis oleh sastrawan yang bersangkutan. Kendala pertama, tentulah dalam pengadaan buku atau karya sastra yang bersangkutan. Masalah pengadaan buku adalah persoalan klasik di dunia pendidikan kita. Entahlah bagaimana caranya agar karya sastra tersedia untuk sejumlah anak di kelas yang akan didatangi oleh sang sastrawan. Tentu diperlukan campur tangan kepala sekolah dan komite sekolah. Sambil membaca, anak-anak dianjurkan menuliskan pertanyaan-pertanyaan.

Dari catatan penulis, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh siswa beragam. Murid-murid yang sudah pernah menulis cerpen, pertanyaannya berupa bagaimana seorang pengarang mendapat ide/inspirasi dalam menulis cerpen. Siswa ini juga menyampaikan bahwa ia sering mandeg dalam pertengahan cerita. Ada pula siswa menyampaikan terasa berat memahami karya sastra yang ditulisnya. Seberapa jauh batas khayalan dan kenyataan dalam sebuah karya sastra. Pertanyaan-pertanyaan lain pun tidak kalah antusisnya disampaikan oleh anak-anak. Jawaban-jawaban atas pertanyaan umunya memuaskan sehingga para siswa bergairah. Walau tampak ada sedikit yang kurang memuaskan mereka tentu wajar. Namun, semua itu akan menjadi catatan tersendiri bagi seorang sastrawan bahwa seorang sastrawan adalah manusia biasa. Pertanyaan anak bukanlah sekadar bertanya.

Selaku guru, penulis merasa mendapat kepuasan batin setelah  melakoni proses pembelajaran sastra dengan menghadirkan sastrawan ke dalam kelas. Model semacam ini akan menjadi motivasi untuk mencari alternatif yang lain sehingga pembelajaran sastra di kelas menjadi lebih bervariasi, bukan monoton. Guru hanyalah salah satu nara sumber belajar. Inilah sebuah strategi pembelajaran sastra dalam menguapayakan hasil pembelajaran lebih baik.

 

05.22

Menjadikan Buku Bacaan sebagai Kebutuhan

Diposting oleh Tri Bana

Menjadi manusia (baca: anak/siswa) seutuhnya tentu syaratnya sehat fisik dan mental. Agar fisik anak sehat, diperlukan makanan yang bergizi pada menu makanan sehari-hari. Seirama dengan pertumbuhan fisik, tentu saja pikiran anak  memerlukan “makanan yang bergizi” pula. Tetapi, dari fenomena yang ada di tengah-tengah masyarakat, seperti perilaku kekerasan yang diberitakan media masa,  tampaknya pikiran anak yang sedang tumbuh banyak yang “kurang gizi” (kurang bernilai pendidikan). Bahkan, dapat dikatakan pertumbuhan jiwa anak di berbagai tempat dalam kesehariannya kebanyakan disuguhi “racun” (perilaku kekerasan).

Siapa yang menyuguhi “racun”? Yang memberi “racun” tiada lain adalah orang tua dan/atau masyarakat tempat anak itu tumbuh-kembang. Si anak diajak atau digendong untuk melakukan kekerasan dalam menuntut sesuatu. Melihat perilaku anak—ikut melakukan kekerasan seperti yang ditayangkan TV—tampaknya masa depan anak penuh dengan perilaku kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan pun semakin tercampakkan.

Idealnya pikiran anak dalam keseharian disuguhi “makanan bergizi”. Yang dimaksud “makanan  bergizi” dalam konteks ini tentu saja buku bacaan yang bernilai pendidikan. Anak mestinya mengisi waktu luangnya dengan  kebiasaan membaca, salah satu kegiatan yang positif dalam menatap masa depan. Sayang, harapan untuk mengisi waktu luangnya dengan membaca tidak banyak terjadi. Di beberapa tempat, justru yang dilakukan adalah sesuatu yang merugikan dirinya sendiri, misalnya: belajar meneguk minuman keras (yang laki-laki), yang perempuan ngerumpi. Fenomena ini tentu tidak mencakup semua anak.

Kebiasaan membaca, sebagai salah satu kegiatan positif, perlu ditumbuhkembangkan sejak dini khususnya dalam dunia pendidikan. Melejitkan budaya baca anak sebagai strategi pendidikan adalah tugas pemerintah, guru, orang tua, dan juga masyarakat. Strategi ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena kondisi masyarakat kita belum mejadikan membaca sebagai budaya, sangat  berbeda dengan “para bule” atau beberapa wisatawan asing yang datang ke Bali, misalnya. Kapan dan di mana saja mereka biasa membaca  untuk mengisi waktu senggangnya. Ketika wisatawan berjemur di pantai, kita melihat mereka membaca. Sambil menunggu kendaraan juga membaca. Hampir dapat dikatakan di negara mereka begitulah budaya masyarakatnya, yakni membaca. Aktivitas membaca sudah menjadi bagian keseharian. Pendek kata, membaca sudah menjadi budaya mereka.

 Mengapa kebiasaan baik orang asing itu tidak ditiru? Mengapa kalau kebisaan jelek mereka, seperti minum alkohol, dan nyabu, justru ditiru? Apakah kurangnya minat baca akibat sistem pendidikan yang memandang perpustakaan dengan sebelah mata? Atau, minat masyarakat kita untuk menguasai ilmu sangat kurang? Tampaknya perlu penelitian.

 

***

Sebetulnya salah satu permasalahan dunia pendidikan kita yang tidak kalah mendesaknya adalah menumbuhkan minat baca di kalangan anak didik. Hambatan untuk menumbuhkan minat baca pada anak begitu besar. Di rumah, acara-acara televisi dan permainan vidio game telah membuat anak semakin menjauhi buku-buku yang mestinya dibaca. Kemudian lingkungan tempat tinggal anak belum juga mendukung agar anak gemar membaca. Kebiasaan atau budaya-baca di lingkungan anak belum menjadi bagian dari hidupnya—belum sebanyak orang yang suka ngerumpi, atau minum-minum bagi laki-laki.

Di sekolah, gemar membaca masih sebatas slogan-slogan di perpustakaan. Guru pun boleh dikatakan belum menjadi panutan untuk menumbuhkan minat-baca pada anak. Guru masih sebatas menyuruh anak-anak agar gemar membaca sedangkan guru sendiri belum menjadikan dirinya sebagai contoh (sebagai model) orang yang gemar membaca. Guru belum banyak berbuat untuk meningkatkan aktivitas membaca pada dirinya. Dengan berbagai alasan yang dicari-cari mengapa ia (sebagai guru) belum sempat membaca buku-buku yang semestinya dibaca—sebagai ciri intektualitasnya. Padahal, karier seorang guru  diawali dengan aktivitas membaca sebelum melangkah ke aktivitas menulis—sebagai bukti adanya pengembangan profesi. Bagaimana bisa menulis kalau tidak suka membaca.

Guru yang professional adalah guru yang mencintai buku, sekaligus kreatif dalam kegiatan baca-tulis. Sayang, ada kendala atau persoalan klasik yakni gaji yang diterima belum memadai untuk membeli buku. Jika demikian persoalannya, mestikah menyerah? Tidak. Perpustakaan siap membantu jika uang untuk membeli buku sebagai kendala. Ada perpustakaan sekolah dan perpustakaan lain yang terdekat. Tidak perlu malu untuk menjadi anggota perpustakaan dan meminjam buku di tempat itu. Kalau ini dilakukan, pasti karier seorang guru bisa tercapai.

Ingin mendapatkan uang dari aktivitas baca-tulis? Begini resepnya! Biasanya perpustakaan menginformasikan buku yang baru terbit. Jika seorang guru kreatif menulis resensi buku yang baru terbit kemudian dikirim ke media cetak, maka hampir dapat dipastikan akan memberi pengahsilan berupa uang—honor. Sekurang-kurangnya cara ini telah penulis lakoni sendiri selama ini. Selanjutnya bukti pemuatan resensi di media cetak dikirim ke penerbit buku itu, maka penerbit akan mengirimkan beberapa buku sebagai hadiah.

Sebagai seorang guru, tentu pengalaman untuk mendapatkan buku secara gratis maupun honor dari menulis resensi ini bisa ditularkan kepada anak didik. Sekurang-kurangnya bisa sebagai perangsang bahwa mampu menulis resensi bisa menghasilkan uang, di samping mendapatkan buku secara gratis. Cara ini juga menjadi strategi dalam meningkatkan minat baca pada anak. Khusus guru mata melajaran bahasa dan sastra Indonesia, tentu menugaskan anak menulis resensi banyak memberikan manfaat.

Guru hendaknya semaksimal mungkin memanfaatkan perpustakaan sekolah dalam pengembangan materi pembelajaran. Dian Sinaga (2005) memberi penjelasan bahwa perpustakaan merupakan subsistem program pendidikan yang berpengaruh terhadap keberhasilan sekolah dalam mengemban misinya. Dengan demikian, perpustakaan sekolah harus dijadikan komponen tak terpisahkan dalam rangkaian pendidikan di sekolah. Perpustakaan sekolah harus berfungsi sebagai sarana yang menentukan proses belajar-mengajar. Jadi fungsi perpustakaan sekolah lebih ditekankan kepada fungsi edukatif dan fungsi rekreatif. Idealnya, semua ini sudah menjadi program kerja kepala sekolah untuk memajukan pendidikan.

Dalam prakteknya, tidak semua kepala sekolah memiliki wawasan yang memadai dalam membenahi perpustakaan sebagai fungsi edukasi maupun rekreasi. Dalam penunjukan staf perpustakaan, misalnya, sering ditugaskan staf pegawai tata usaha yang kinerjanya kurang baik di tempat semula. Agar jarang staf lain bisa berkomunikasi, ditaruhlah di perpustakaan. Demikian juga, jika ada penunjukan dari staf guru, kebanyakan guru yang kondisinya kurang sehat (fisik/mental) kemudian ditugaskan di perpustakaan. Bagaimana guru yang kurang sehat ini bisa mendayagunakan perpustakaan jika kondisinya kurang sehat. Jangan-jangan perpustakaan juga dibuat “sakit”.

Ada satu contoh perpustakaan sekolah, mungkin hanya berupa kasus. Selain kondisi penunjukan tenaga perpustakaan seperti tersebut di atas, dari sisi jumlah tenaga di perpustakaan pun terasa kurang memadai jika dilihat dari sisi jumlah murid yang harus dilayani. Jumlah siswa antara 850-900 orang hanya dilayani oleh dua orang petugas. Petugas ini pun hanya satu orang yang pernah mendapat Diklat Perpustakaan. Sering pula ruang perpustakaan terbuka tanpa petugas pelayanan atau pengawasan terhadap murid yang mengunjungi perpustakaan karena petugasnya diberikan pekerjaan lain.

Lebih menyedihkan lagi—sekadar contoh, perpustakaan dijadikan ruangan serba-guna oleh staf sekolah. Kalau dijadikan ruang pertemuan sewaktu-waktu masih bisa diterima. Yang kurang baik adalah staf sekolah menggunakan perpustakaan itu sebagai tempat makan bersama, seperti pesta jalan. Kondisi kita yang kurang biasa memelihara kebersihan habis makan akan mengundang hewan-hewan ( tikus, semut, kecoa) untuk masuk ke perpustakaan. Akibatnya, hewan-hewan itu ikut juga merusak buku yang ada di perpustakaan—akibat ada sisa makanan. Tempat perpustakaan yang kotor sudah tentu membuat siswa tidak senang berada di perpustakaan.

Jika ingin memajukan sekolah, tampaknya memulai dari pembenahan perpustkaan. Seperti kata para pakar pendidikan bahwa perpustakaan adalah jantungnya institusi pendidikan. Bahkan ada yang berpendapat, maju mundurnya sekolah bisa dilihat dari kondisi perpustakaan. Jika kondisi perpustakaannya baik, maka kondisi sarana dan prasarana lain dari sekolah itu akan baik pula. Dari kondisi perpustakaan yang baik akan dapat menuntun siswa, guru, dan sataf pegawai tata usaha sekolah untuk menjadi SDM yang berkualitas. Jika waktu luangnya digunakan untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan berpikir dengan membaca di perpustakaan tentu akan berdampak positif dalam meningkatkan sumber daya manusia (SDM).

Khusus di lingkungan sekolah sesungguhnya menumbuhkembangkan minat baca pada anak tampaknya masih ada harapan. Persoalannya, adakah kemauan sekolah (kepala sekolah, guru, dan sataf pewagainya) untuk meningkatkan minat baca dengan terlebih dahulu menjadi model bagi para siswa? Kalau sudah ada, tampaknya pembenahan fisik perpustakaan dan pengadaan buku-buku perpustakaan lebih mudah daripada pembenahan sikap-mental yang kurang menjadikan kebiasaan membaca sebagai bagian dari keseharian. Idealnya, aktivitas membaca sebagai kebutuhan rohani itu seirama dengan kebutuhan fisik umumnya, seperti melakukan aktivitas makan, minum, dan berpakaian. Kalau untuk membeli rokok berani mengeluarkan uang sampai seratus ribu rupiah atau lebih, mengapa untuk membeli buku tidak berani?

Pelaksanaan aktivitas baca-tulis di sekolah sangat bergantung kepada sistem pendidikan dan kinerja para guru. Berbicara soal sistem pendidikan yang berpengaruh terhadap kinerja guru, maka semuanya ada di pihak pemerintah. Kondisi politik yang kurang stabil juga berdampak kepada dunia pendidikan, khususnya kinerja guru. Misalnya, kalau gurunya lebih banyak berpikir ke arah agar anak dapat menjawab soal-soal tes objektif—model soal ujian, maka kegiatan anak-anak akan berkutat kepada latihan menyilang/menghitamkan jawaban pada contoh soal pilihan ganda.

Sistem pengukuran dengan mengandalkan tes pilihan ganda pada pendidikan tingkat awal (SD) tentu lebih banyak “racunnya” daripada “madunya”. Anak sudah mulai dibatasi kreativitas berpikirnya oleh kunci jawaban. Banyak contoh soal bersifat membatasi kreativitas berpikir anak pada soal pilihan ganda. Anak lebih banyak dicekoki tentang jawaban yang benar sesuai kuni dari gurunya.  Semua ini mengakibatkan buku bacaan di perpustakaan kurang diperhatikan oleh anak, termasuk para guru.

          Aktivitas pengembangan baca-tulis di dunia pendidikan kita tampaknya berkaitan dengan sistem yang ada. Melihat sistem pendidikan tingkat dasar dan lanjutan seperti sekarang ini, tampaknya si anak tidak disirami dengan nilai-nilai pendidikan lewat membaca buku-buku di perpustakaan.

Seperti sudah dipaparkan, aktivitas membaca buku-buku di perpustakaan tentu akan memberikan hasil yang lebih baik dalam jangka panjang sebab wawasan berpikir anak akan berkembang. Tetapi, hasil jangka panjang itu kurang mendapat perhatian. Dari fenomena yang ada sekarang, tidaklah berlebihan jika dikatakan mutu pendidikan kita semakin merosot terutama dari segi apresiasi nilai-nilai yang ada, seperti: moral, etika, agama. Angka-angka yang tertera dalam rapor dan ijazahnya banyak yang palsu—tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya.

 

***

          Bagaimana dengan masyarakat Bali yang dikenal lewat budayanya  memiliki nilai luhur? Aktivitas membaca dengan penanaman nilai-nilai budaya pastilah ada relevansinya. Kini penanaman nilai-nilai budaya daerah—aset budaya nasional—menjadi persoalan para pecinta budaya dan pemerintah pusat dan daerah. Gempuran teknologi komunikasi yang canggih telah membuat anak semakin jauh dari budaya leluhurnya—jauh dari ahli waris nilai budaya. Adanya TV lokal di Bali memang telah membantu mengangkat budaya Bali. Namun, bagaimana pun juga televisi memiliki keterbatasan dalam menumbuhkan daya imajinasi anak yang penuh krativitas itu. Jalan keluarnya adalah memperkaya buku-buku perpustakaan, baik perpustakaan sekolah, perpustakaan yang dikelola yayasan, lebih-lebih perpustakaan milik pemerintah daerah dengan buku tentang budaya/kearifan lokal Bali. Hendaknya buku-buku yang memberi informasi dan pengetahuan tentang kearifan lokal sebanyak mungkin bisa diperoleh di perpustakaan terdekat.

Dunia anak adalah dunia imajinasi yang perlu ditumbuhkembangkan lewat buku bacaan sehingga terbentuk karakter yang dijiwai nilai-nilai budaya/kearifan lokal. Seirama dengan tumbuhnya minat baca, peran pemerintah adalah mengupayakan tersedianya buku-buku bacaan. Mengapa pemerintah? Tampaknya para penerbit swasta belum berani mengambil resiko untuk menerbitkan buku bacaan anak dalam kondisi budaya baca yang sangat rendah. Untuk bacaan orang dewasa saja dunia perbukuan masih suram, apalagi buku untuk anak-anak.

Penulis buku bacaan anak belum bergairah karena kurang memberikan harapan dalam finansial. Para pemenang penulisan bacaan anak, misalnya, tidak  berminat mengembangkan kreativitasnya karena  masalah imbalan yang belum menjanjikan untuk bisa hidup layak. Di sinilah dipelukan dana pemerintah yang memadai dalam pengadaan buku bacaan anak-anak sehinggga penulisnya bergairah.

          Khusus khasanah nilai-nilai budaya Bali yang sudah terbukti  mendatangkan wisatawan dan menghasilkan uang, tentulah sedapat mungkin diupapayakan agar anak tidak merasakan asing pada budaya daerahnya. Rasa keterasingan ini haruslah dihilangkan. Salah satu caranya adalah dengan pengadaan buku bacaan karena budaya bercerita  oleh orang tuanya hampir punah.

Buku bacaan yang mengangkat budaya Bali hendaknya mudah didapat oleh anak di perpustakaan. Dalam hal ini tentu saja minat baca anak sudah tumbuh dengan baik lewat pendidikan, baik di sekolah, di keluarga, maupun di masyarakat. Pembentukan karakter lewat pengadaan buku bacaan anak-anak adalah tugas kita bersama.

 

---

 

         

 

 

 

 

 

 

 

Identitas Penulis

 

Nama lengkap   : Drs. I Gusti Ketut Tribana

Pekerjaan         : Guru SMAN 6 Denpasar

Alamat Rumah  : Aspol Kereneng, Blok D No. 9 Denpasar

                               Telp./HP: (0361) 7423732

Judul  Tulisan    : Menjadikan Membaca sebagai Kebutuhan dan Hambatannya