Tribana

Ini Adalah Blog pribadi saya yang bercerita tentang suka duka menjadi GURU

22.10

Bila Si Ibu Menirukan Bahasa Balita …

Diposting oleh Tri Bana

Berkomukasi dengan balita (baca juga: masa anak mulai belajar bahasa) memberi kesenangan tersendiri, lebih-lebih bagi si ibu balita. Komunikasi itu bisa berupa; mengajak balita bicara, menggoda. Komunikasi ini dilakukan tanpa peduli apakah si kecil bisa menyahuti atau tidak. Bukan sebatas penghuni rumah, bahkan setiap orang yang sempat metatap si balita mengajaknya bicara disertai gerakan tubuh yang lucu-lucu agar si balita bereaksi. Senyuman atau suara si balita disertai gerakan tangan, kaki, dan bagian tubuh yang lain setelah diajak berkomunikasi oleh orang dewasa, dirasakan sebagai hadiah yang tak ternilai harganya. Reaksi apapun yang dilakukan balita terasa sangat lucu. Suasana tegang dalam rumah tangga pun dapat diubah menjadi ceria oleh reaksi balita.
Di balik kesenangan berkomunikasi dengan balita, ada kesalahan yang sudah mendarah daging yang diperbuat oleh si ibu balita (termasuk orang dewasa lainnya) pada masa-masa balita mengalami pemerolehan bahasa yang pertama. Kesalahan apa yang dimaksud? Ambillah contoh, saat balita mulai dapat mengucapkan kata ‘ma’ untuk kata ‘mama’, kata ‘pa’ untuk kata ‘papa’, dan sejumlah kata lainnya. Umumnya si ibu dan orang dewasa yang ada di sekitar si kecil itu menirukan bentuk bahasa balita yang belum sempurna itu. Kesalahan itu berlangsung tanpa disadari karena rasa sayang kepada balita.
Kata yang mampu diucapkan saat-saat mulai belajar bahasa ini adalah kata bersuku dua dan kata-kata yang dekat dengan kehidupan si balita (Soenjono Dardjowidjojo, 2005). Kemudian, si ibu dan orang dewasa lainnya ikut mengucapkan satu suku kata (kata belum sempurna) yang keluar dari mulut si balita. Si balita belum mampu mengucapkan kata secara sempurna semata-mata karena masih dalam proses belajar. Kebiasaan menirukan bentuk bahasa balita yang masih dalam proses itu tentu berakibat kurang baik dalam pemerolehan bahasa pada anak.
Bagaimana sebaiknya? Berdasarkan teori yang dikemukakan Soenjono Dardjowidjojo, si ibu semestinya tidak menirukan ucapan si balita yang belum sempurna itu, melainkan tetap mengucapkan kata secara benar sehingga balita lebih cepat bisa mengucapkan kata secara benar. Kebiasaan si ibu atau orang dewasa lainnya yang selalu mengikuti/mengulangi ucapan si balita yang belum sempurna itu akan menghambat perkembangan anak mengusai bahasa.
Ketika mendengar bunyi bahasa dari orang dewasa, di otak balita muncul berupa hipotesis yang selalu disempurnakannya sehingga mampu mengucapkan dengan sempurna. Karena itu, kebiasaan orang dewasa menirukan bentuk bahasa balita berarti memberikan masukan (input) yang tidak benar—mengacaukan hipotesis—kepada si balita tentang ucapan bahasa yang semestinya dikuasai anak. Bentuk (ucapan) bahasa akan dikuasai lebih cepat jika input dari orang dewasa benar. Demikian, Soenjono Dardjowidjojo (pakar dari Unika Atma Jaya) mengemukakan hasil penelitiannya tentang pemerolehan bahasa pada anak. Hasil penelitian ini tentu penting bagi ibu-ibu yang balitanya sedang mengalami pemerolehan bahasa. Karena si ibu yang mendominasi berkomunikasi dengan balita pada saat anak mengalami pemerolehan bahasa pertama, maka bahasa pertama yang dikuasai itu disebut bahasa ibu (B-1).
Sehubungan dengan proses belajar bahasa bagi balita, beberapa hasil penelitian Soenjono Dardjowidjojo tampaknya perlu diketahui selain oleh para ibu balita maupun guru bahasa, kemudian dijadikan acuan ketika mengajarkan bahasa kepada anak. (1) Anak tidak diajar berbahasa oleh orang dewasa. (2) Anak tidak menirukan sepenuhnya ucapan orang dewasa. (3) Anak membentuk hipotesis dan merevisinya sampai hasilnya benar 100%. Dalam membentuk hipotesis ini peran input dari si ibu atau orang dewasa sangat berarti dalam memepercepat pemerolehan bahasa pada anak untuk menuju kesempurnaan penggunaan bahasa.
Teori Soenjono itu pernah disampaikan dihadapan guru bahasa Indonesia. Guru bahasa yang kurang memahami teori belajar bahasa seperti yang dikemukakan oleh Soenjono menentang untuk pernyataan butir pertama—anak tidak diajar bahasa oleh orang dewasa. Soal pertentangan pendapat/teori bagi seorang pakar sekaliber Soenjono bukanlah hal yang baru. Apa yang dikemukakan oleh Soenjono tentu berdasarkan hasil penelitian ilmiah. Seperti biasanya, hasil penelitian ilmiah kurang banyak diimplementasikasi oleh masyarakat bahkan pihak yang berkepentingan dalam bidangnya sekalipun. Sangat disayangkan hasil penelitian para pakar hanya menjadi konsumsi para pakar. Sedangkan di pihak orang tua dan guru sebagai ujung tombak dalam pembelajaran bahasa, selalu memojokkan anak jika mengalami kegagalan.
Terhadap butir yang kedua, anak tidak menirukan sepenuhnya ucapan orang dewasa’ dapat dipahami karena si balita baru belajar. Balita masih mengalami kesulitan menirukan bahasa yang diucapkan orang dewasa apalagi kata yang suku katanya lebih dari dua. Jika orang dewasa mengucapkan kata yang bersuku dua, maka balita hanya mampu mengucapkan satu suku kata terakhir saja pada mulanya. Tetapi, kesalahan si balita itu semata-mata dalam proses belajar. Si balita akan terus berusaha mengucapkan kata secara benar.
Peran orang dewasa khsususnya si ibu balita sangat penting dalam pemerolehan B-1 ini. Menurut Soenjono kekurangsempurnaan ucapan si balita tidak perlu ditirukan. Biarkan anak mengucapkan sesuai dengan kemampuannya. Kalau ditirukan, proses perbaikan ucapan bahasanya akan dihambat sebab si anak membentuk hipotesa berdasarkan input (masukan) yang diterima dari orang dewasa. Si ibu hendaknya tetap mengucapkan kata secara benar agar hipotesis yang dibuat anak tidak keliru tentang ucapan kata yang benar. Menurut hasil penelitian itu kesalahan hipotesa anak akan selalu direvisi oleh si anak itu sendiri sampai benar 100%.
Kesalahan dalam proses belajar adalah alamiah. Sayang, di jenjang pendidikan formal (dari SD hingga sekolah lanjutan) guru sering kurang mengapresisi kesalahan yang dialami oleh anak yang sedang dalam proses belajar itu. Dari sisi kejiwaan, kuranglah tepat kalau kesalahan si anak selalu ditonjol-tonjolkan dalam proses belajar. Penonjolan kesalahan akan berdampak negatif karena motivasi belajar anak akan menurun. Ia takut dicemoh atau ditertawakan (sebagai ejekan) kawannya atau guru. Jangankan anak, orang dewasa pun akan kecewa jika diejek.
Dalam perkembangan selanjutnya, anak pun akan malas mencoba atau beraktivitas berkaitan dengan peningkatan penguasaan bahasa—seolah kesalahan itu sebagai suatu dosa yang tak terampuni. Mungkin pula ada anak yang menjadi gagap akibat rasa takut yang berlebihan. Jadi, kondisi kurang baik itu tentu pula berasal dari kekeliruan orang dewasa (orang tua dan guru) sebelumnya yang kurang memahami kejadian alamiah itu yakni kesalahan dalam proses belajar bersifat universal.

21.57

Anak Bolos Sekolah, Siapa Takut?

Diposting oleh Tri Bana

Anak bolos sekolah bukanlah fenomena baru dalam dunia pendidikan. Bahkan, ada anak merasa senang membolos; entah dengan loncat tembok, mengendap-ngendap ke luar sekolah. Pelakunya, bukan sebatas anak di sekolah menengah, anak SD pun pernah membolos. Bagi anak yang tidak suka dengan gurunya, mereka selalu mencari kesempatan untuk membolos. Rasa takut seperti sudah lenyap begitu saja. Agar tidak dimarahi guru maupun orang tua, anak “kreatif” untuk mencari alasan. Tegasnya, sekolah tidak lagi menjadi tempat menyenangkan tetapi menyiksa.

Pada sekolah yang aturannya ketat lain lagi ceritanya. Sekolah benar-benar dirasakan sebagai penjara. Guru menganut faham wibawa itu identik dengan adanya rasa takut pada anak. Guru siap-siaga untuk menyemprotkan kata-kata yang menyakiti, menjatuhkan mental. Hukuman di sekolah pun tidak lagi dirasakan sebagai curahan rasa kasih sayang, tetapi pukulan yang telak di wajah. Rasa malu pun dialami. Anak yang tidak tahan menanggung malu sering memutuskan pindah sekolah, bahkan berhenti selamanya.


Perlu diberi catatan, bahwa tidak semua anak membolos kondisinya seperti dipaparkan di atas. Ada anak membolos karena payah sehabis olahraga, ikutan kawannya, atau guru tidak hadir tanpa memberikan informasi atau tugas. Dibandingkan dikungkung di dalam kelas, “mendingan pulang tanpa izin” kata murid biasanya. Pada kajian yang lebih luas perilaku bolos-sekolah perlu ditelusuri. Mengapa anak membolos?

Selama ini sekolah (guru) belum banyak mengevaluasi diri mengapa anak membolos. Yang disalahkan biasanya pihak anak, bahkan dengan hukuman yang kurang mendidik. Kalau seorang anak membolos pada mata pelajarannya sering penyelesaiannya dengan “mengeroyok”, seolah anak itu sebagai seorang pesakitan. Hukuman yang diterima anak biasanya tidak boleh ikut pelajaran. Mestinya hukuman itu bersifat mendidik.

Hukuman mendidik adalah hukuman yang tidak membuat anak menjadi lebih bodoh dalam pelajaran (M. Joko Susilo, 2007). Sayang, hukuman mendidik sering tidak dilaksanakan. Guru kurang cerdas secara emosional sehingga hukumannya kurang mendidik; memunculkan rasa takut. Ilmu pendidikan yang pernah dipelajari guru lenyap begitu saja. Membuka komunikasi dengan siswa pun sepertinya “alergi”. Yang muncul egonya si guru. Anak bolos selalu didentikkan dengan anak yang “kurang ajar”, anak yang perlu diberi hukuman agar wibawa guru tidak jatuh. Hasilnya? Tetap saja ada anak yang membolos karena hukumannya tidak mendidik.
Memang selama ini anak yang membolos menerima saja hukuman yang dikenakan kepadanya. Jika ada seorang anak cerdas juga membolos, maka perlu dijadikan renungan oleh pihak guru atau sekolah. Jangan-jangan si anak sudah berpikir, “Untuk apa saya sekolah, kalau yang dipelajari tidak memberikan manfaat dalam kehidupan nyata?” Pendapat ini sepertinya benar. Sejumlah fakta dihapalkan siswa untuk tes ternyata setelah tamat tidak memberikan manfaat, tidak bisa menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.

Menurut Muchlas Samani (2007) ada yang salah dalam pendidikan kita. Samani, seorang Profesor Universitas Ngeri Surabaya, mengutip kata-kata anak muda di beberapa tempat yang mengatakan bahwa pendidikan saat ini terlalu teoritis, terlalu di awang-awang, dan tidak terkait dengan kehidupan nyata. Misalnya, anak-anak belajar ilmu ekonomi ternyata tidak tahu bagaimana caranya berdagang. Anak belajar matematika (berhitung) tetapi tidak mampu memperhitungkan apa yang harus dilakukan dalam kehidupan ini. Anak-anak belajar ilmu alam tetapi tidak mampu memanfaatkan alam. Anak belajar bahasa tetapi tidak mampu berkomunikasi yang efektif. Anak belajar sejarah tetapi kurang mampu menghargai nilai-nilai sejarah.


Samani juga mengutip apa yang pernah dikatakan Rendra (1975), bahwa sejak tahun 1970-an ada ketidakberesan dalam pendidikan kita. Anak kurang merasakan kemanfaatannya dalam kehidupan nyata. Sindhunata (2002) pun mengatakan bahwa pendidikan hanya menghasilkan air mata. Dengan demikian, sudah saatnya kita mencari solusi agar pendidikan benar-benar mampu mengantarkan anak didik, menyiapkan diri guna menghadapi masa depannya.
Samani mengajukan pertanyaan, “Apakah materi yang dipelajari anak-anak sudah tepat?” Faktanya, guru lebih banyak memberikan materi untuk untuk ujian (UN), masih jauh dari kehidupan nyata. Anak pun kurang sempat menggali potensi yang ada pada dirinya padahal setiap anak yang dilahirkan punya bakat untuk bisa dikembangkan. Berdasarkan apa yang pernah dikutip oleh Samani, bahwa siswa terkuras tenaga dan pikirannya semata-mata untuk mempelajari sesuatu yang dirasakan tidak bermanfaat dalam kehidupan. Karena itu, wajar anak membolos khususnya anak yang menyadari untuk apa mereka belajar.


Menurut Sir William Haley, seperti yang dikutip Andrias Harefa (2001), pendidikan akan jauh lebih efektif jika tujuannya adalah memastikan bahwa saat anak meninggalkan sekolah, mereka mengetahui betapa banyak yang belum diketahui untuk dapat mempertahankan seluruh kehidupan berikutnya dengan penuh gairah. Jadi, pendidikan itu harus memberikan manfaat dalam kehidupan nyata, bukan sekadar menghapalkan fakta-fakta yang tidak bisa mereka manfaatkan.
Memperhatikan sejarah kehidupan orang-orang sukses dalam kehidupan nyata, Samani telah menemukan bahwa sikap dan perilaku menjadi kunci sukses seseorang. Sukses tidak hanya dalam materi dan karier, tetapi juga dalam kemasyarakatan maupun ibadah. Sikap dan perilaku itu diperoleh lewat pendidikan yang bermakna—entah formal atau nonformal. Samani menyebutnya kecakapan hidup atau life skill. Kecakapan hidup yang dimaksudkan bukanlah sekadar punya keterampilan, melainkan kreatif dalam arti luas.

Presatasi dalam UN tidak identik dengan keberhasilan dalam kehidupan nyata. Wajarlah prestasi akademis sesaat (nilai yang tinggi di rapor dan ujian) tidak menjamin berhasil dalam kehidupan nyata—jika tidak kreatif. Pendidikan yang bermutu pastilah memalui proses yang kreatif, bukan sebatas hapalan. Sepanjang pembelajaran tidak kreatif, maka anak merasakan sebagai pengekangan. Karena itu muncullah niat membolos. Bukankah tidak sedikit pula orang sukses waktu menjadi siswa termasuk anak yang suka bolos? Maaf, jangan diartikan bahwa penulis setuju dengan perilaku membolos.
• IGK Tribana

21.54

Akankah Les dongkrak Prestasi ?

Diposting oleh Tri Bana

Memasuki musim penghujan beberapa bulan lalu bukannya membuat persawahan di sebagian Bali selatan kecukupan air, melainkan tetap kekurangan air. Air hanya diperoleh secara bergilir. Perolehan air secara bergiliran pun kurang mencukupi. Kondisinya tetap seperti musim kemarau saja . Hujan hanya membuat tumbuhnya rumput. Biasanya bisa ditanami padi. Hamparan sawah di seputar Sanur, Kesiman, sebagian Renon, misalnya, masih tampak saluran irigasinya tidak berair bahkan kekeringan.
Selain itu, di beberapa subak di wilayah Kabupaten Gianyar (irigasi dari Sungai Ayung) yang sempat penulis amati, juga tampak kekurangan air irigasi. Mesin traktor bajak pun mengalami kesulitan untuk bekerja gara-gara kekurangan air. Pasalnya, kata sejumlah petani yang sempat penulis jumpai, selain debit air Sungai Ayung kecil juga penguapan air di sawah sangat tinggi. Paginya sawah berair, sorenya air sudah hilang akibat penguapan yang tinggi.Untuk itulah penulis mencoba menelusuri beberapa tempat saluran irigasi. Di Dam Oongan-Denpasar, tampak air kecil sehingga sungai yang menjadi saluran irigasi dari Dam Oongan lebih sering tanpa aliran air. Walaupun ada air tampkanya kurang cukup untuk mengairi sawah di beberapa subak di wilayah Kesiman, Sanur, maupun subak di seputaran Renon. Menurut I Wayan Darsana(53), yang sudah 30 tahun bertugas sebagai penjaga Pintu Air di Dam Oongan, debit air Sungai Ayung memang kecil terutama sejak dimanfaatkan sebagai air baku untuk PDAM yang bertempat di Belusung, Peguyangan Kangin-Denpasar Utara. Bahkan data yang diperoleh Tokoh di Dam Mambal, yakni PDAM dijatahkan air sebanyak 1130 liter/detik (sekitar 43%) pada kondisi air saat ini. Sedangkan subak memperoleh 2600 liter/detik.
Sementara itu, air irigasi di Lukluk (Badung), yang air irigasinya juga bersumber dari Sungai Ayung, airnya tampak kecil daripada kondisi biasanya. Kondisi air yang kecil ini membuat para pekaseh mengecek keberadaan air irigasi. Ketut Nada (54), pekaseh Subak Gaji-Dalung misalnya, mengecek air ke Dam Bagi Lukluk seolah menjadi pekerjaan rutin. “Saya selalu ke sini mengecek keberadaan air atas desakan dari krama subak” katanya kepada penulis saat menengok kondisi air di Dam Bagi Lukluk, bahkan sampai membuat surat permohonan untuk diberikan jatah air lebih banyak.
Apa yang disampaikan oleh Pekaseh Subak Dalung ini dibenarkan oleh I Nyoman Rungkan (38), penjaga pintu air di Dam Bagi Lukluk. “Akibat kekurangan air ini 11 subak telah mengajukan surat permohonan aliran air saat membajak dan menanam padi” kata Rungkan kepada Tokoh sambil memperlihatkan surat permohonan yang ditujukan kepada Dinas PU Prov. Bali. Menurut Rungkan, curah hujan yang rendah ini menjadi pemicu para petani mendatangi petugas pejaga pintu air. Rungkan pun kurang tahu sampai kapan kekurangan air ini berlangsung.
Untuk melengkapi data tentang kondisi air Sunagi Ayung, penulis pun mendatangi Dam Mambal (Badung) dan menemui Ida Bagus Suardana (45), petugas Dam Mambal yang sekaligus tinggal di sisi Dam Mambal. Air di situ juga kecil dibandingkan kondisi beberapa tahun yang lalu. Suardana pun mengakui bahwa musim penghujan tahun ini memang beda dari tahun-tahun sebelumnya entah apa yang menyebabkan. “Curah hujan pada musim penghujan sekarang memang kurang” kata Suardana yang sudah 12 tahun bertugas sebagai penjaga Dam Mambal, pengganti dari ayahnya. Ketika para pekaseh mendatanginya, Suardana pun mengajak pemimpin subak itu melihat kondisi air yang sesungguhnya. “Akhirnya para pekaseh juga maklum kondisi air yang kecil” kata Suardana.
Sebagai petugas penjaga pintu air Suardana punya kenangan tersendiri. Selain Dam Mambal tempatnya dianggap angker, juga bisa memberi pelayanan kepada masyarakat petani di sebagian wilayah Kab. Badung. “Memang suka-duka menjadi penjaga pintu air selalu ada” tegasnya. Bagi Suardana, dapat memberikan pelayanan kepada warga subak menjadi salah satu kebagaannya. Pekerjaan ini pun dinikmatinya dengan rasa senang. Dalam kondisi musim hujan, pekerjaan sebagai penjaga pintu air tanggung jawabnya cukup besar. Memang tugas rutinnya mencatat perkembangan air, yakni jam 07.00 dan jam 17.00, seperti juga di dam-dam yang lainnya.

21.46

Air Irigasi Sungai Ayung terus Mengecil

Diposting oleh Tri Bana

Memasuki musim penghujan beberapa bulan lalu bukannya membuat persawahan di sebagian Bali selatan kecukupan air, melainkan tetap kekurangan air. Air hanya diperoleh secara bergilir. Perolehan air secara bergiliran pun kurang mencukupi. Kondisinya tetap seperti musim kemarau saja . Hujan hanya membuat tumbuhnya rumput. Biasanya bisa ditanami padi. Hamparan sawah di seputar Sanur, Kesiman, sebagian Renon, misalnya, masih tampak saluran irigasinya tidak berair bahkan kekeringan.
Selain itu, di beberapa subak di wilayah Kabupaten Gianyar (irigasi dari Sungai Ayung) yang sempat penulis amati, juga tampak kekurangan air irigasi. Mesin traktor bajak pun mengalami kesulitan untuk bekerja gara-gara kekurangan air. Pasalnya, kata sejumlah petani yang sempat penulis jumpai, selain debit air Sungai Ayung kecil juga penguapan air di sawah sangat tinggi. Paginya sawah berair, sorenya air sudah hilang akibat penguapan yang tinggi.Untuk itulah penulis mencoba menelusuri beberapa tempat saluran irigasi. Di Dam Oongan-Denpasar, tampak air kecil sehingga sungai yang menjadi saluran irigasi dari Dam Oongan lebih sering tanpa aliran air. Walaupun ada air tampkanya kurang cukup untuk mengairi sawah di beberapa subak di wilayah Kesiman, Sanur, maupun subak di seputaran Renon. Menurut I Wayan Darsana(53), yang sudah 30 tahun bertugas sebagai penjaga Pintu Air di Dam Oongan, debit air Sungai Ayung memang kecil terutama sejak dimanfaatkan sebagai air baku untuk PDAM yang bertempat di Belusung, Peguyangan Kangin-Denpasar Utara. Bahkan data yang diperoleh Tokoh di Dam Mambal, yakni PDAM dijatahkan air sebanyak 1130 liter/detik (sekitar 43%) pada kondisi air saat ini. Sedangkan subak memperoleh 2600 liter/detik.
Sementara itu, air irigasi di Lukluk (Badung), yang air irigasinya juga bersumber dari Sungai Ayung, airnya tampak kecil daripada kondisi biasanya. Kondisi air yang kecil ini membuat para pekaseh mengecek keberadaan air irigasi. Ketut Nada (54), pekaseh Subak Gaji-Dalung misalnya, mengecek air ke Dam Bagi Lukluk seolah menjadi pekerjaan rutin. “Saya selalu ke sini mengecek keberadaan air atas desakan dari krama subak” katanya kepada penulis saat menengok kondisi air di Dam Bagi Lukluk, bahkan sampai membuat surat permohonan untuk diberikan jatah air lebih banyak.
Apa yang disampaikan oleh Pekaseh Subak Dalung ini dibenarkan oleh I Nyoman Rungkan (38), penjaga pintu air di Dam Bagi Lukluk. “Akibat kekurangan air ini 11 subak telah mengajukan surat permohonan aliran air saat membajak dan menanam padi” kata Rungkan kepada Tokoh sambil memperlihatkan surat permohonan yang ditujukan kepada Dinas PU Prov. Bali. Menurut Rungkan, curah hujan yang rendah ini menjadi pemicu para petani mendatangi petugas pejaga pintu air. Rungkan pun kurang tahu sampai kapan kekurangan air ini berlangsung.
Untuk melengkapi data tentang kondisi air Sunagi Ayung, penulis pun mendatangi Dam Mambal (Badung) dan menemui Ida Bagus Suardana (45), petugas Dam Mambal yang sekaligus tinggal di sisi Dam Mambal. Air di situ juga kecil dibandingkan kondisi beberapa tahun yang lalu. Suardana pun mengakui bahwa musim penghujan tahun ini memang beda dari tahun-tahun sebelumnya entah apa yang menyebabkan. “Curah hujan pada musim penghujan sekarang memang kurang” kata Suardana yang sudah 12 tahun bertugas sebagai penjaga Dam Mambal, pengganti dari ayahnya. Ketika para pekaseh mendatanginya, Suardana pun mengajak pemimpin subak itu melihat kondisi air yang sesungguhnya. “Akhirnya para pekaseh juga maklum kondisi air yang kecil” kata Suardana.
Sebagai petugas penjaga pintu air Suardana punya kenangan tersendiri. Selain Dam Mambal tempatnya dianggap angker, juga bisa memberi pelayanan kepada masyarakat petani di sebagian wilayah Kab. Badung. “Memang suka-duka menjadi penjaga pintu air selalu ada” tegasnya. Bagi Suardana, dapat memberikan pelayanan kepada warga subak menjadi salah satu kebagaannya. Pekerjaan ini pun dinikmatinya dengan rasa senang. Dalam kondisi musim hujan, pekerjaan sebagai penjaga pintu air tanggung jawabnya cukup besar. Memang tugas rutinnya mencatat perkembangan air, yakni jam 07.00 dan jam 17.00, seperti juga di dam-dam yang lainnya.