Tribana

Ini Adalah Blog pribadi saya yang bercerita tentang suka duka menjadi GURU

05.21

Tawuran, Siapa Takut?

Diposting oleh Tri Bana

Jika di kota besar seperti Jakarta terjadi tawuran antar pelajar, itu sudah berita biasa. Namun, sungguh mengejutkan masyarakat di Bali berita tentang tawuran anak sekolah (SMP) yang melanda Bali khususnya kota Denpasar. Lebih mengejutkan lagi yang tawuran itu justru dari anak yang sekolahnya sudah memiliki nama dan presatasi papan atas. Di kedua sekolah itu telah dilakukan pembinaan yang baik. Prestasi sekolah itu pun telah diakui oleh masyarakat di daerah ini bahkan sampai tingkat nasional. Siapa menyangka akan terjadi tawuran?
Dengan terjadinya tawuran ini tampaknya tidak ada jaminan bahwa di suatu sekolah tidak akan terjadi tawuran. Jangankan di tingkat sekolah SMA/SMK—yang fisiknya sudah sebesar guru, di SMP saja ternyata sudah adu fisik. Bukan sebatas anak SMP, pernah juga terjadi keroyokan terhadap di salah satu SD di Denpasar Timur. Kebrutalan tidak memandang besarnya fisik. Dari kejadian ini tampaknya pertanda juga bahwa menjelang pemilu ada potensi konflik yang sangat besar pada masyarakat Bali, seperti kata salah seorang paranormal kondang (berita TV). Semogalah sebatas ramalan.
Sadar atau tidak, kita harus mengakui bahwa pendidikan yang mengarah kepada pembentukan karakter berbudi pekerti, kematangan emosional, dan spritual belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan bersama. Mengambinghitamkan salah satu pihak, misalnya sekolah atau orang tua, atas tawuran itu tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Yang menjadi pertanyaan kita selaku orang tua, mengapa anak-anak bisa tawuran?
Menurut penulis salah satu penyebab ABG tawuran adalah tayangan film di televisi. ABG yang sedang mencari jati dirinya tentu tidak lepas dari pigur yang menjadi idola mereka. Di samping itu mereka tidak seutuhnya dapat menangkap maksud kisah dalam film. Mengapa penulis berpendapat pengaruh dari film? Semenjak tayangan film-film remaja yang mengambil tokoh cerita anak sekolah, cara berpakian itu menjadi model anak remaja—berpakaian sekolah sesuka hatinya. Kini kondisi berpakian tokoh sinetron itulah yang diikuti oleh anak. Adanya aturan bagaimana berpakaian sekolah, mereka acuh tak acuh. Jadi, salah satu penyebab kekerasan anak sekolah adalah tayangan film remaja yang kurang berakar pada budaya—apalagi budaya lokal. Penulis, selaku guru, prihatin juga terhadap tayangan film di televisi yang mngisahkan kekerasan ABG. Adegan-adegan kekarasan itu telah membuat anak-anak semakin jauh dari nilai-nilai luhur yang menjadi kekayaan hati nurani manusia.
Penyebab lain, banyak kalangan berpendapat bahwa hanya dengan menguasai IPTEK bangsa kita bisa maju. Memang tidak salah pendapat itu. Eh, ternyata yang terjadi lain. Kalangan ini lupa akan nilai-nilai. Kebanyakan anak kita kurang menguasai ilmu, ditambah perilakunya yang memprihatinkan. Jika dibiarkan terus, semakin rusaklah karakter dan kualitas pribadi anak-anak kita di masa-masa mendatang. Menjadi konsumen miras pun bukan rahasia lagi di kalangan remaja kita. Bukankah anak-anak tawuran di Jalan Surapati itu ada yang meneguk minunan keras sebelumnya (berita Bali Post, 21 Pebruari 2004)
Berkait kenakalan remaja, ada sejumlah persoalan yang perlu direnungkan. Apakah sekolah tidak mampu menanamkan nilai-nilai budi pekerti sebagaimana yang dilakukan oleh guru masa lalu? Pada konteks masa kini, apakah kita selaku orang tua juga sudah kehilangan nilai-nilai luhur kekayaan hati nurani sehingga egois? Atau, lingkungan masyarakat dan ditambah tayangan televisi sudah menyimpang dari budi pekerti? Tampaknya semua jawaban yang samar atas pertanyaan itu telah memicu anak untuk brutal terhadap temanya maupun lingkungannya. Bukankah juga anak tawuran gara-gara mereka kurang memperhatikan lingkungan—membuang plastik pembungkus es sembarangan?
Sesungguhnya anak krisis panutan. Sekarang semakin sedikit “orang tua” maupun “yang dituakan” memberi teladan kepada anak-anak. “Orang tua” maunya menang sendiri. Kesalahan dilimpahkan kepada anak-anak atau pihak lain. Sudah lumrah orang tua dan masyarakat menyalahkan sekolah, sekolah menyalahkan orang tua dan masyarakat. Saling menyalahkan. Kalau terus saling menyalahkan, tentu permasalahan tidak akan selesai bahkan semakin bertambah.
Perhatian setiap orang sangat diperlukan lebih-lebih pihak pemerintah selaku memegang kebijakan pendidikan. Kalau persekolahan kita sekarang didominasi oleh penekanan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah akibat kebijaksanaan pemerintah terdahulu—sistem pendidikannya—yang hanya melihat pendidikan dari satu sisi, kecerdasan intelektual. Seolah-olah manusia dalam kehidupannya cukup dengan penguasaan iptek. Ini pendapat keliru karena menyimpang dari tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam GBHN—membentuk manusia seutuhnya yakni fisik dan mental.
Pendidikan budi pekerti dan iptek hendaknya diselaraskan. Khusus pada pendidikan dasar hendaknya diprioritaskan penanaman nilai-nilai dasar seperti mencintai sesama, keagamaan, sosialitas, gender, keadilan, demokrasi, kejujuran, kemandirian, tanggung jawab, penghargaan terhadap lingkungan. Keadaannya sangat berbeda dari harapan, tidak sedikit anak pada pendidikan tingkat dasar hingga menengah telah merasakan belajar sebabagi suatu beban. Orang tua dan guru sering mengeroyok anak dalam memaksakan kehendak sehingga mereka jenuh belajar. Kejenuhan mereka inilah kadang dilampiaskan dengan tawuran.
Sesungguhnya kejenuhan-kejenuhan berawal dari pendidikan di tingkat awal. Misalnya, anak TK sudah dipaksa agar bisa membaca, menulis, bahkan matematika. Ada kesan belajar itu kurang menyenangkan. Mestinya di TK adalah penanaman nilai-nilai budi pekerti lewat mendongeng (bersastra). Disayangkan pula kegiatan bersastra sangat tidak memadai pada pendidikan tingkat dasar (SD). Setelah anak menginjak remaja (SMP) baru diberikan sastra dengan penekanan yang sering salah—menekankan pengetahuan/hapalan, mestinya apresiasi terhadap nilai-nilai. Kalau pembelajaran sastra itu benar, di sinilah anak bisa belajar tentang karakter manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.
Pendidikan budi pekerti tidak akan berhasil kalau kurang ada keteladanan dari orang-orang yang mestinya menjadi teladan seperti guru, orang tua, aparatur pemerintah, penegak hukum, pemuka masyarakat, anggota legeslatif. Salahkah anak-anak tawuran kalau “orang tua” yang mestinya menjadi panutan sering berantem bahkan nyata-nyata berkelai di gedung terhormat (gedung DPR/MPR). Kalau “orang tua” mereka suka ribut, jangan salahkan anak-anak ribut. Jadilah “orang tua” yang bisa diteladani, bila perlu belajar bersama anak.

0 komentar: