Tribana

Ini Adalah Blog pribadi saya yang bercerita tentang suka duka menjadi GURU

05.32

Bagiamana Guru Menyikapi Ujian Praktik Sastra?

Diposting oleh Tri Bana

          Untuk mata pelajaran sastra, ujian tahun 2005 ini beda dengan ujian tahun-tahun sebelumnya. Di era-EBTANAS, mata pelajaran sastra menjadi salah satu ujian nasional—soal dari pusat. Setelah UAN menjadi ujian sekolah yang diselenggarakan oleh provinsi (Bali). Kini memasuki ujian tahun 2005 sepenuhnya menjadi ujian sekolah (soal disusun guru) dan dilengkapi dengan ujian praktik. Sepintas, sepertinya mengada-ngada mata pelajaran sastra ada ujian praktiknya. Pada kegiatan belajar-mengajar, tidak pernah ada program atau wujud kegiatan praktik bersastra. Walau demikian, tidaklah sulit untuk merealisasikannya. Wujud praktik mata pelajaran sastra pastilah kegiatan nyata dalam bersastra, misalnya: mengapresiasi atau aktivitas menghasilkan karya sastra.

Setelah ditetapkannya ada ujian praktik, guru sastra, penggiat sastra, dan pecinta sastra ujian praktek sastra ini akan membuat keningnya mengkerut beberapa saat. Namun yang pasti, adanya ujian praktik, sebagian guru sastra menyambutnya dengan gembira karena dapat mengajak siswa beraktivitas di bidang sastra lebih bersungguh-sungguh dalam kegiatan belajar-mengajar. Guru yang lainnya, ketika pertama kali sastra ada ujian praktek, tentu ada yang terperangah “Sekarang ada ujian praktik sastra? Mengapa mata pelajaran sastra ada praktik? Bagaimana wujudnya?” Dan, sejumlah pertanyaan lainnya. Maklumlah, karena baru pertama kali ada ujian praktik sastra.

Bagaimana sebaiknya guru sastra menyikapi ujian praktek ini? Kompetensi apa yang diharapkan oleh guru dalam ujian praktek ini harus jelas berdasarkan kurikulum yang berlaku. Menurut ketentuan atau petunjuk yang ada, bentuk ujian praktek sastra adalah lisan dan tertulis. Bagaimana bentuk ujian dalam operasionalnya, guru harus merincinya dengan presedur ujian. Operasionalnya dijabarkan lagi oleh guru mengingat keterbatasan waktu dan tenaga penguji. Di samping itu guru tentu memperhatikan pula misi pembelajaran sastra.

          Tampaknya wawasan seorang guru mata pelajaran sastra akan sangat mewarnai wujud ujian praktek mata pelajaran sastra ini. Apakah ujian praktik itu sekadar jalan untuk mencari nilai atau dirancang untuk meningkatkan mutu pembelajaran sastra itu sendiri. Guru sastra pasti mengetahui bahwa potensi murid tidak sama dalam menekuni bidang sastra. Ada anak yang suka dan punya potensi baca puisi. Ada anak yang mampu menulis puisi tetapi tidak suka membacanya. Ada anak yang punya potensi bermain/membawakan naskah drama. Ada anak yang mampu menulis cerpen, bahkan cerpennya sudah biasa dimuat di media massa. Dan yang lainnya, ada yang punya kompetensi sebatas menjadi penikmat karya sastra. Yang terakhir inilah jumlahnya paling banyak. Yang pasti, kompetensi anak berpraktik untuk semua itu tidak mungkin sama. Jika guru memaksakan anak untuk menguasai semua kompetensi itu tentu akan merugikan pembelajaran sastra itu sendiri dan kecil kemungkinannya akan tercapai. Karena main paksa, akan membuat mata pelajaran sastra itu dibenci oleh anak.

          Berdasarkan kenyataan di atas, guru perlu mempertimbangkan dari berbagai segi. Guru hendaknya juga membuat pelajaran sastra tidak dibenci oleh anak. Katakanlah semua siswa diberikan ujian praktik yang sama, misalnya: membaca puisi, atau menulis cerita pendek. Jika setiap siswa melaksanakan seperti itu dalam mata pelajaran sastra, tentu akan merugikan pembelajaran sastra. Jangankan siswa, para penekun sastra seperti guru, bahkan seniman sastra pun jarang menguasai semua kompetensi dalam bersastra. Dari ratusan bahkan ribuan penulis karya sastra, sangat jarang penulis novel juga menjadi penulis puisi yang baik. Sangat jarang pula kritikus atau apresiator sastra bisa menjadi penyair atau penulis cerpen yang baik. Mungkin di seluruh Indonesia ini bisa dihitung dengan jari tangan orang yang punya kompetensi segalanya dalam bidang sastra. Jadi yang ada, kebanyakan pengarang atau penikmat sastra menekuni salah satu kompetensi dalam aktivitas dalam bersastra.

          Mata pelajaran sastra memang agak unik. Mata pelajaran sastra berbeda dengan mata pelajaran lain, apalagi kalau dibandingkan dengan mata pelajaran yang menekankan kepada penguasaan keilmuan, seperti: sosiologi, kimia, biologi. Kalau dalam mata pelajaran lain, perbedaan pendapat itu sedapat mungkin ditiadakan, maka dalam pelajaran sastra perbedaan pendapat itu mendapat tempat yang subur khususnya dalam mengapresiasi karya sastra asal disertai dengan alasan yang kuat. Dalam menanggapi atau menghasilkan sebuah karya sastra, kesenjangan guru-murid sedapat mungkin diminimalisasi. Guru-murid memiliki hak yang sama dalam mengapresiasi sebuah karya sastra. Kalau guru sengaja membuat situasi agar pendapatnyalah yang benar, maka dapat dipastikan guru itu kurang memahami apa itu sastra. Tipe guru seperti ini sebaiknya tidak bertugas sebagai guru mata pelajaran sastra.

          Mengingat mata pelajaran sastra itu agak unik, maka sebaiknya guru memberi pilihan kepada murid untuk memilih aktivitas bersastra mana yang akan dipilih. Jika seorang murid ingin memilih aktivitas membaca puisi atau bermain drama tentulah harus diberikan kesempatan, apalagi guru tahu anak itu memang punya potensi di bidang baca puisi atau bermain drama. Anak yang lain, jika ada yang memilih menulis cerpen tentulah diberikan kesempatan lebih-lebih si anak itu telah produktif mengahsilkan cerita pendek yang telah dimuat di berbagai media. Demikian pula jika si anak hanya mampu menjadi seorang pengapresiasi atau kritikus sastra, tentulah diberi kesempatann pula.

Kalau model ujian praktik sastra telah memberi kesempatan kepada siswa memilih sesuai dengan kompetensinya, maka kesungguhan anak untuk berativitas dalam bersastra akan semakin terbuka. Mereka tidak mengalami ketakutan untuk menguasai materi ujian secara kuantitas, melainkan akan lebih mengarah kepada kondisi kualitas dalam bersastra. Kalau ternyata ada segelintir anak yang punya kompetensi di berbagai karya sastra disertai bisa menjadi pengapresiasi yang baik adalah suatu nilai lebih baginya dan layak diberikan nilai yang maksimal (nilai sepuluh) untuk praktik sastra.

1.    Pendahuluan

1.1         Latar Belakang Masalah

 

Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia selama ini belum mampu memenuhi harapan sebagaian besar masyarakat (Sayuti,2003). Bukan sebatas itu, hampir belum pernah terdengar  mutu pembelajaran sastra yang menggembirakan, seperti yang terungkap pada pertemuan sastrawan di tingkat daerah. Menurut Suminto A. Sayuti, sesungguhnya pelaksanaan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia diharapkan mampu mencapai tingkatan yang terkait dengan upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa,” menuju kehidupan yang lebih modern dan beradad.

Berkaitan dengan mutu pelajaran bahasa dan Sastra Indonesia yang belum mengembirakan itu dalam pertemuan para sastrawan di Balai Bahasa Denpasar beberapa waktu lalu seorang sastrawan, Nyoman Manda dari Gianyar, berkata “Kami siap datang ke sekolah jika diundang oleh guru sastra”. Tepuk tangan para guru dan sastrawan saat itu terdengar sebagai dukungan. Kesiapan Nyoman Manda ini disampaikan setelah salah seorang guru melontarkan permohonan agar sekali waktu sastrawan bersedia datang ke sekolah untuk berkomunikasi dengan para siswa dalam rangka menumbuhkan kualitas apresiasi sastra pada anak. Para sastrawan lain yang hadir ketika itu tampaknya juga menyetujuinya. Karena itulah para guru (termasuk penulis) menindaklanjuti kesiapan para sastrawan itu dalam meningkatkan mutu pembelajaran sastra. Penulis pun mengundang oara sastrawan ke kelas untuk berkomunikasi dengan siswa.

Sebagai suatu strategi, seorang guru mata pelajaran sastra Indonesia umumnya jarang, bahkan belum pernah, mengundang seorang sastrawan untuk hadir di depan para siswanya—salah satu konsumen karya sastra. Sesungguhnya sastrawan dengan senang hati mau datang ke kelas untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Selama ini tampaknya guru  masih menjadi “nara sumber tunggal” di dalam pembelajaran sastra. Masih disyukuri jika “nara sumber tunggal” itu mengajak anak-anak menggali nilai-nilai karya sastra (apresiasi) dalam pembelajaran sastra. Kurikulum yang baik belum tentu hasilnya baik kalau gurunya belum… Label KBK dalam kurikulum yang diterapkan di sekolah belum menjamin suasana pembelajaran di dalam kelas bernuansakan apresiasi sastra jika pihak guru belum siap.

Guru perlu mengupayakan agar kadar apresiasi sastra pada anak-anak lebih baik daripada sebelumnya. Salah satu caranya adalah mengundang sastrawan untuk bersastra dan sekaligus berkomunikasi dengan anak-anak di dalam kelas. Hadirnya sastrawan di dalam kelas akan membuat suasana pembelajaran sastra beda dengan hari sebelumnya. Cara ini diharapkan akan menjawab pertanyaan, “Betulkah anak-nak kebanyakan tidak punya minat dalam mengapresiasi karya sastra?”

 

1.2 Permasalahan

(1)   Bagaimana apresiasi sastra siswa dengan kehadiran sastrawan di kelas?

(2)   Bagaimana motivasi siswa mengapresiasi karya sastra setelah berkomunikasi dengan sastrawan?

(3)   Bagaimana tanggapan sastrawan setelah berkomuniukasi dengan siswa?

1.3

Selaku guru sastra, penulis akan berbagai pengalaman kepada rekan sejawat, guru mata pelajaran sastra. Bukanlah berlebihan kalau penulis kemukakan ketika (Kamis, 2 Desember 2004) sastrawan yang diundang itu meninggalkan sekolah menyampaikan kesannya bahwa anak cukup antusias dalam pembelajaran sastra. Tidak terasa waktu yang untuk tatap muka itersedia itu tidak cukup. Sedang hangatnya komunikasi, tanya jawab antara sastrawan dan anak-anak, bel telah berbunyi sebagai tanda waktunya habis. Menurut sang sastrawan anak telah mengapresiasi karya dengan baik—untuk ukuran seorang murid SMA. “Bagus, bagus, apresiasi anak terhadap karya sastra” kata sang sastrawan. Biasalah…selaku manusia biasa, penulis senang muridnya disanjung. Kalau dipikir-pikir, sanjungan ini adalah tantangan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sastrawan.

Hadirnya sastrawan di dalam kelas memang bukan hal baru. Program SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya), “Proyeknya Majalah Horizon” telah membuat suasana sekolah yang didatangi bernuansakan kesastraan. Sayang, kondisi ini tidak menjadikan guru punya inisiatif mengundang sastrawan lokal untuk bicara di  dalam kelas pada waktu pelajaran sastra. Wajar pula anak-anak bosan dalam pelajaran sastra. Materi pembelajaran sastranya penuh dengan hapalan-hapalan. Kalaupun suasana pembelajaran apresiatif, sering pula pihak guru kurang siap untuk berdebat dengan anak-anak selaku sama-sama pengapresiasi karya sastra. Anak-anak selalu diceramahi. Anak-anak pun takut menyampaikan pendapatnya jika berbeda dengan pendapat gurunya. Para guru yang selalu mendikte anak-anak dalam mengapresiasi sastra tentulah akan membuat pembelajaran sastra kurang bergairah.

Karena tulisan ini sifatnya lebih banyak berbagi pengalaman, maka terasa perlu diinformasikan teknis pelaksanaannya. Mudah-mudahan teman sejawat, guru-guru sastra dapat melaksanakannya. Sebagai seorang guru, tentu kita terus berupaya meningkatkan kualitas pembelajaran sastra. Kualitas pembelajaran sastra sesungguhnya bukan semata ditentukan oleh tingginya nilai rapor atau nilai ujian akhir yang diperoleh oleh para murid. Kualitas sesungguhnya akan ditentukan seberapa jauh kepekaan pikiran dan perasaan peserta didik setelah diberi pendidikan. Kalau belum, guru belum dapat menepuk dada bahwa ia telah berhasil mengemban misinya sebagai seorang guru, khususnya sebagai seorang guru sastra. Kematangan, kepekaan pikiran dan perasaan peserta didik dalam menghadapi persoalan kehidupan adalah cermin bahwa guru telah dapat “memanusiakan manusia”.

Agar terjadi komunikasi yang baik antara siswa dengan sang sastrawan, maka beberapa hari sebelumnya anak-anak ditugaskan membaca karya sastra yang ditulis oleh sastrawan yang bersangkutan. Kendala pertama, tentulah dalam pengadaan buku atau karya sastra yang bersangkutan. Masalah pengadaan buku adalah persoalan klasik di dunia pendidikan kita. Entahlah bagaimana caranya agar karya sastra tersedia untuk sejumlah anak di kelas yang akan didatangi oleh sang sastrawan. Tentu diperlukan campur tangan kepala sekolah dan komite sekolah. Sambil membaca, anak-anak dianjurkan menuliskan pertanyaan-pertanyaan.

Dari catatan penulis, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh siswa beragam. Murid-murid yang sudah pernah menulis cerpen, pertanyaannya berupa bagaimana seorang pengarang mendapat ide/inspirasi dalam menulis cerpen. Siswa ini juga menyampaikan bahwa ia sering mandeg dalam pertengahan cerita. Ada pula siswa menyampaikan terasa berat memahami karya sastra yang ditulisnya. Seberapa jauh batas khayalan dan kenyataan dalam sebuah karya sastra. Pertanyaan-pertanyaan lain pun tidak kalah antusisnya disampaikan oleh anak-anak. Jawaban-jawaban atas pertanyaan umunya memuaskan sehingga para siswa bergairah. Walau tampak ada sedikit yang kurang memuaskan mereka tentu wajar. Namun, semua itu akan menjadi catatan tersendiri bagi seorang sastrawan bahwa seorang sastrawan adalah manusia biasa. Pertanyaan anak bukanlah sekadar bertanya.

Selaku guru, penulis merasa mendapat kepuasan batin setelah  melakoni proses pembelajaran sastra dengan menghadirkan sastrawan ke dalam kelas. Model semacam ini akan menjadi motivasi untuk mencari alternatif yang lain sehingga pembelajaran sastra di kelas menjadi lebih bervariasi, bukan monoton. Guru hanyalah salah satu nara sumber belajar. Inilah sebuah strategi pembelajaran sastra dalam menguapayakan hasil pembelajaran lebih baik.

 

05.22

Menjadikan Buku Bacaan sebagai Kebutuhan

Diposting oleh Tri Bana

Menjadi manusia (baca: anak/siswa) seutuhnya tentu syaratnya sehat fisik dan mental. Agar fisik anak sehat, diperlukan makanan yang bergizi pada menu makanan sehari-hari. Seirama dengan pertumbuhan fisik, tentu saja pikiran anak  memerlukan “makanan yang bergizi” pula. Tetapi, dari fenomena yang ada di tengah-tengah masyarakat, seperti perilaku kekerasan yang diberitakan media masa,  tampaknya pikiran anak yang sedang tumbuh banyak yang “kurang gizi” (kurang bernilai pendidikan). Bahkan, dapat dikatakan pertumbuhan jiwa anak di berbagai tempat dalam kesehariannya kebanyakan disuguhi “racun” (perilaku kekerasan).

Siapa yang menyuguhi “racun”? Yang memberi “racun” tiada lain adalah orang tua dan/atau masyarakat tempat anak itu tumbuh-kembang. Si anak diajak atau digendong untuk melakukan kekerasan dalam menuntut sesuatu. Melihat perilaku anak—ikut melakukan kekerasan seperti yang ditayangkan TV—tampaknya masa depan anak penuh dengan perilaku kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan pun semakin tercampakkan.

Idealnya pikiran anak dalam keseharian disuguhi “makanan bergizi”. Yang dimaksud “makanan  bergizi” dalam konteks ini tentu saja buku bacaan yang bernilai pendidikan. Anak mestinya mengisi waktu luangnya dengan  kebiasaan membaca, salah satu kegiatan yang positif dalam menatap masa depan. Sayang, harapan untuk mengisi waktu luangnya dengan membaca tidak banyak terjadi. Di beberapa tempat, justru yang dilakukan adalah sesuatu yang merugikan dirinya sendiri, misalnya: belajar meneguk minuman keras (yang laki-laki), yang perempuan ngerumpi. Fenomena ini tentu tidak mencakup semua anak.

Kebiasaan membaca, sebagai salah satu kegiatan positif, perlu ditumbuhkembangkan sejak dini khususnya dalam dunia pendidikan. Melejitkan budaya baca anak sebagai strategi pendidikan adalah tugas pemerintah, guru, orang tua, dan juga masyarakat. Strategi ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena kondisi masyarakat kita belum mejadikan membaca sebagai budaya, sangat  berbeda dengan “para bule” atau beberapa wisatawan asing yang datang ke Bali, misalnya. Kapan dan di mana saja mereka biasa membaca  untuk mengisi waktu senggangnya. Ketika wisatawan berjemur di pantai, kita melihat mereka membaca. Sambil menunggu kendaraan juga membaca. Hampir dapat dikatakan di negara mereka begitulah budaya masyarakatnya, yakni membaca. Aktivitas membaca sudah menjadi bagian keseharian. Pendek kata, membaca sudah menjadi budaya mereka.

 Mengapa kebiasaan baik orang asing itu tidak ditiru? Mengapa kalau kebisaan jelek mereka, seperti minum alkohol, dan nyabu, justru ditiru? Apakah kurangnya minat baca akibat sistem pendidikan yang memandang perpustakaan dengan sebelah mata? Atau, minat masyarakat kita untuk menguasai ilmu sangat kurang? Tampaknya perlu penelitian.

 

***

Sebetulnya salah satu permasalahan dunia pendidikan kita yang tidak kalah mendesaknya adalah menumbuhkan minat baca di kalangan anak didik. Hambatan untuk menumbuhkan minat baca pada anak begitu besar. Di rumah, acara-acara televisi dan permainan vidio game telah membuat anak semakin menjauhi buku-buku yang mestinya dibaca. Kemudian lingkungan tempat tinggal anak belum juga mendukung agar anak gemar membaca. Kebiasaan atau budaya-baca di lingkungan anak belum menjadi bagian dari hidupnya—belum sebanyak orang yang suka ngerumpi, atau minum-minum bagi laki-laki.

Di sekolah, gemar membaca masih sebatas slogan-slogan di perpustakaan. Guru pun boleh dikatakan belum menjadi panutan untuk menumbuhkan minat-baca pada anak. Guru masih sebatas menyuruh anak-anak agar gemar membaca sedangkan guru sendiri belum menjadikan dirinya sebagai contoh (sebagai model) orang yang gemar membaca. Guru belum banyak berbuat untuk meningkatkan aktivitas membaca pada dirinya. Dengan berbagai alasan yang dicari-cari mengapa ia (sebagai guru) belum sempat membaca buku-buku yang semestinya dibaca—sebagai ciri intektualitasnya. Padahal, karier seorang guru  diawali dengan aktivitas membaca sebelum melangkah ke aktivitas menulis—sebagai bukti adanya pengembangan profesi. Bagaimana bisa menulis kalau tidak suka membaca.

Guru yang professional adalah guru yang mencintai buku, sekaligus kreatif dalam kegiatan baca-tulis. Sayang, ada kendala atau persoalan klasik yakni gaji yang diterima belum memadai untuk membeli buku. Jika demikian persoalannya, mestikah menyerah? Tidak. Perpustakaan siap membantu jika uang untuk membeli buku sebagai kendala. Ada perpustakaan sekolah dan perpustakaan lain yang terdekat. Tidak perlu malu untuk menjadi anggota perpustakaan dan meminjam buku di tempat itu. Kalau ini dilakukan, pasti karier seorang guru bisa tercapai.

Ingin mendapatkan uang dari aktivitas baca-tulis? Begini resepnya! Biasanya perpustakaan menginformasikan buku yang baru terbit. Jika seorang guru kreatif menulis resensi buku yang baru terbit kemudian dikirim ke media cetak, maka hampir dapat dipastikan akan memberi pengahsilan berupa uang—honor. Sekurang-kurangnya cara ini telah penulis lakoni sendiri selama ini. Selanjutnya bukti pemuatan resensi di media cetak dikirim ke penerbit buku itu, maka penerbit akan mengirimkan beberapa buku sebagai hadiah.

Sebagai seorang guru, tentu pengalaman untuk mendapatkan buku secara gratis maupun honor dari menulis resensi ini bisa ditularkan kepada anak didik. Sekurang-kurangnya bisa sebagai perangsang bahwa mampu menulis resensi bisa menghasilkan uang, di samping mendapatkan buku secara gratis. Cara ini juga menjadi strategi dalam meningkatkan minat baca pada anak. Khusus guru mata melajaran bahasa dan sastra Indonesia, tentu menugaskan anak menulis resensi banyak memberikan manfaat.

Guru hendaknya semaksimal mungkin memanfaatkan perpustakaan sekolah dalam pengembangan materi pembelajaran. Dian Sinaga (2005) memberi penjelasan bahwa perpustakaan merupakan subsistem program pendidikan yang berpengaruh terhadap keberhasilan sekolah dalam mengemban misinya. Dengan demikian, perpustakaan sekolah harus dijadikan komponen tak terpisahkan dalam rangkaian pendidikan di sekolah. Perpustakaan sekolah harus berfungsi sebagai sarana yang menentukan proses belajar-mengajar. Jadi fungsi perpustakaan sekolah lebih ditekankan kepada fungsi edukatif dan fungsi rekreatif. Idealnya, semua ini sudah menjadi program kerja kepala sekolah untuk memajukan pendidikan.

Dalam prakteknya, tidak semua kepala sekolah memiliki wawasan yang memadai dalam membenahi perpustakaan sebagai fungsi edukasi maupun rekreasi. Dalam penunjukan staf perpustakaan, misalnya, sering ditugaskan staf pegawai tata usaha yang kinerjanya kurang baik di tempat semula. Agar jarang staf lain bisa berkomunikasi, ditaruhlah di perpustakaan. Demikian juga, jika ada penunjukan dari staf guru, kebanyakan guru yang kondisinya kurang sehat (fisik/mental) kemudian ditugaskan di perpustakaan. Bagaimana guru yang kurang sehat ini bisa mendayagunakan perpustakaan jika kondisinya kurang sehat. Jangan-jangan perpustakaan juga dibuat “sakit”.

Ada satu contoh perpustakaan sekolah, mungkin hanya berupa kasus. Selain kondisi penunjukan tenaga perpustakaan seperti tersebut di atas, dari sisi jumlah tenaga di perpustakaan pun terasa kurang memadai jika dilihat dari sisi jumlah murid yang harus dilayani. Jumlah siswa antara 850-900 orang hanya dilayani oleh dua orang petugas. Petugas ini pun hanya satu orang yang pernah mendapat Diklat Perpustakaan. Sering pula ruang perpustakaan terbuka tanpa petugas pelayanan atau pengawasan terhadap murid yang mengunjungi perpustakaan karena petugasnya diberikan pekerjaan lain.

Lebih menyedihkan lagi—sekadar contoh, perpustakaan dijadikan ruangan serba-guna oleh staf sekolah. Kalau dijadikan ruang pertemuan sewaktu-waktu masih bisa diterima. Yang kurang baik adalah staf sekolah menggunakan perpustakaan itu sebagai tempat makan bersama, seperti pesta jalan. Kondisi kita yang kurang biasa memelihara kebersihan habis makan akan mengundang hewan-hewan ( tikus, semut, kecoa) untuk masuk ke perpustakaan. Akibatnya, hewan-hewan itu ikut juga merusak buku yang ada di perpustakaan—akibat ada sisa makanan. Tempat perpustakaan yang kotor sudah tentu membuat siswa tidak senang berada di perpustakaan.

Jika ingin memajukan sekolah, tampaknya memulai dari pembenahan perpustkaan. Seperti kata para pakar pendidikan bahwa perpustakaan adalah jantungnya institusi pendidikan. Bahkan ada yang berpendapat, maju mundurnya sekolah bisa dilihat dari kondisi perpustakaan. Jika kondisi perpustakaannya baik, maka kondisi sarana dan prasarana lain dari sekolah itu akan baik pula. Dari kondisi perpustakaan yang baik akan dapat menuntun siswa, guru, dan sataf pegawai tata usaha sekolah untuk menjadi SDM yang berkualitas. Jika waktu luangnya digunakan untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan berpikir dengan membaca di perpustakaan tentu akan berdampak positif dalam meningkatkan sumber daya manusia (SDM).

Khusus di lingkungan sekolah sesungguhnya menumbuhkembangkan minat baca pada anak tampaknya masih ada harapan. Persoalannya, adakah kemauan sekolah (kepala sekolah, guru, dan sataf pewagainya) untuk meningkatkan minat baca dengan terlebih dahulu menjadi model bagi para siswa? Kalau sudah ada, tampaknya pembenahan fisik perpustakaan dan pengadaan buku-buku perpustakaan lebih mudah daripada pembenahan sikap-mental yang kurang menjadikan kebiasaan membaca sebagai bagian dari keseharian. Idealnya, aktivitas membaca sebagai kebutuhan rohani itu seirama dengan kebutuhan fisik umumnya, seperti melakukan aktivitas makan, minum, dan berpakaian. Kalau untuk membeli rokok berani mengeluarkan uang sampai seratus ribu rupiah atau lebih, mengapa untuk membeli buku tidak berani?

Pelaksanaan aktivitas baca-tulis di sekolah sangat bergantung kepada sistem pendidikan dan kinerja para guru. Berbicara soal sistem pendidikan yang berpengaruh terhadap kinerja guru, maka semuanya ada di pihak pemerintah. Kondisi politik yang kurang stabil juga berdampak kepada dunia pendidikan, khususnya kinerja guru. Misalnya, kalau gurunya lebih banyak berpikir ke arah agar anak dapat menjawab soal-soal tes objektif—model soal ujian, maka kegiatan anak-anak akan berkutat kepada latihan menyilang/menghitamkan jawaban pada contoh soal pilihan ganda.

Sistem pengukuran dengan mengandalkan tes pilihan ganda pada pendidikan tingkat awal (SD) tentu lebih banyak “racunnya” daripada “madunya”. Anak sudah mulai dibatasi kreativitas berpikirnya oleh kunci jawaban. Banyak contoh soal bersifat membatasi kreativitas berpikir anak pada soal pilihan ganda. Anak lebih banyak dicekoki tentang jawaban yang benar sesuai kuni dari gurunya.  Semua ini mengakibatkan buku bacaan di perpustakaan kurang diperhatikan oleh anak, termasuk para guru.

          Aktivitas pengembangan baca-tulis di dunia pendidikan kita tampaknya berkaitan dengan sistem yang ada. Melihat sistem pendidikan tingkat dasar dan lanjutan seperti sekarang ini, tampaknya si anak tidak disirami dengan nilai-nilai pendidikan lewat membaca buku-buku di perpustakaan.

Seperti sudah dipaparkan, aktivitas membaca buku-buku di perpustakaan tentu akan memberikan hasil yang lebih baik dalam jangka panjang sebab wawasan berpikir anak akan berkembang. Tetapi, hasil jangka panjang itu kurang mendapat perhatian. Dari fenomena yang ada sekarang, tidaklah berlebihan jika dikatakan mutu pendidikan kita semakin merosot terutama dari segi apresiasi nilai-nilai yang ada, seperti: moral, etika, agama. Angka-angka yang tertera dalam rapor dan ijazahnya banyak yang palsu—tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya.

 

***

          Bagaimana dengan masyarakat Bali yang dikenal lewat budayanya  memiliki nilai luhur? Aktivitas membaca dengan penanaman nilai-nilai budaya pastilah ada relevansinya. Kini penanaman nilai-nilai budaya daerah—aset budaya nasional—menjadi persoalan para pecinta budaya dan pemerintah pusat dan daerah. Gempuran teknologi komunikasi yang canggih telah membuat anak semakin jauh dari budaya leluhurnya—jauh dari ahli waris nilai budaya. Adanya TV lokal di Bali memang telah membantu mengangkat budaya Bali. Namun, bagaimana pun juga televisi memiliki keterbatasan dalam menumbuhkan daya imajinasi anak yang penuh krativitas itu. Jalan keluarnya adalah memperkaya buku-buku perpustakaan, baik perpustakaan sekolah, perpustakaan yang dikelola yayasan, lebih-lebih perpustakaan milik pemerintah daerah dengan buku tentang budaya/kearifan lokal Bali. Hendaknya buku-buku yang memberi informasi dan pengetahuan tentang kearifan lokal sebanyak mungkin bisa diperoleh di perpustakaan terdekat.

Dunia anak adalah dunia imajinasi yang perlu ditumbuhkembangkan lewat buku bacaan sehingga terbentuk karakter yang dijiwai nilai-nilai budaya/kearifan lokal. Seirama dengan tumbuhnya minat baca, peran pemerintah adalah mengupayakan tersedianya buku-buku bacaan. Mengapa pemerintah? Tampaknya para penerbit swasta belum berani mengambil resiko untuk menerbitkan buku bacaan anak dalam kondisi budaya baca yang sangat rendah. Untuk bacaan orang dewasa saja dunia perbukuan masih suram, apalagi buku untuk anak-anak.

Penulis buku bacaan anak belum bergairah karena kurang memberikan harapan dalam finansial. Para pemenang penulisan bacaan anak, misalnya, tidak  berminat mengembangkan kreativitasnya karena  masalah imbalan yang belum menjanjikan untuk bisa hidup layak. Di sinilah dipelukan dana pemerintah yang memadai dalam pengadaan buku bacaan anak-anak sehinggga penulisnya bergairah.

          Khusus khasanah nilai-nilai budaya Bali yang sudah terbukti  mendatangkan wisatawan dan menghasilkan uang, tentulah sedapat mungkin diupapayakan agar anak tidak merasakan asing pada budaya daerahnya. Rasa keterasingan ini haruslah dihilangkan. Salah satu caranya adalah dengan pengadaan buku bacaan karena budaya bercerita  oleh orang tuanya hampir punah.

Buku bacaan yang mengangkat budaya Bali hendaknya mudah didapat oleh anak di perpustakaan. Dalam hal ini tentu saja minat baca anak sudah tumbuh dengan baik lewat pendidikan, baik di sekolah, di keluarga, maupun di masyarakat. Pembentukan karakter lewat pengadaan buku bacaan anak-anak adalah tugas kita bersama.

 

---

 

         

 

 

 

 

 

 

 

Identitas Penulis

 

Nama lengkap   : Drs. I Gusti Ketut Tribana

Pekerjaan         : Guru SMAN 6 Denpasar

Alamat Rumah  : Aspol Kereneng, Blok D No. 9 Denpasar

                               Telp./HP: (0361) 7423732

Judul  Tulisan    : Menjadikan Membaca sebagai Kebutuhan dan Hambatannya

         

 

         

 

         

          

05.22

Arti Menulis bagi Seorang Remaja

Diposting oleh Tri Bana

Beberapa sumber mengungkapkan, bahwa  budaya menulis di kalangan remaja masih rendah. Bahkan, Taufiq Ismail  mengatakan generasi kita sekarang “lumpuh” menulis. Menurut Taufiq Ismail, kelumpuhkan ini sebagai akibat dari “rabun” membaca. Tentu tidak dapat disangkal  antara aktivitas membaca dan menulis ada hubungan yang signifikan. Pertanyaan kita, apa yang menyebabkan hingga terjadi kelumpuhan dalam  baca-tulis di kalangan generasi muda kita?

Pertanyaannya memang klasik, namun belum terjawab sampai saat ini. Pemerintah pun seperti kurang mengambil langkah nyata untuk menjawab persoalan itu. Harga buku misalnya, masih dirasakan tinggi. Buku pelajaran  sekolah pun dirasakan masih memberatkan. Program buku burah tampaknya masih menjadi wacana politik sedang realisasinya belum jelas. Orang tua masih diberatkan oleh harga buku yang tinggi untuk anaknya yang masih sekolah. Semua itu membuat aktivitas membaca rendah, yang mulanya memang rendah.

            Saat terjadi dialog sesama remaja dan narasumber di TVRI Bali dalam acara “Bukan Debat Kusir” baru-baru ini terungkap beberapa hal yang cukup menarik untuk dijadikan bahan diskusi lebih lanjut. Remaja menolak jika dikatakan budaya menulis di kalangan remaja masih kurang apalagi dikatakan lumpuh. Pernyataan itu terlalu menyudutkan remaja, kata mereka. Beberapa fakta dikemukakan remaja—saat itu hadir remaja anak-anak SMA dan Komunitas Sahaja (kelompok penulis muda)—untuk  menolak pernyataan kurangnya aktivitas menulis di kalangan remaja.

            Seorang siswa mengemukakan pendapat bahwa arti menulis itu jangan selalu diartikan karya tulis yang dipublikasi lewat media massa cetak. Kebiasaan menulis di buku harian masing-masing, misalnya, tentu termasuk aktivitas menulis. Menulis pengalaman pribadi lewat buku harian sekarang ini sudah menjadi bagian dari kehidupan para remaja, kata remaja itu. Kalau saja nantinya catatan-catatan harian ini dirangkai dan diberikan ilustrasi akan bisa menjadi subuah cerita, misalnya cerpen. “Bukankah sudah banyak cerpen lahir dari pengalaman keseharian para remaja?” kata remaja dalam acara debat di stasiun televisi publik itu.

Cukup banyak remaja (termasuk remaja dari Bali)  berhasil memenangkan karya tulis di ajang  bergengsi. Prestasi karya tulis yang dimaksud di sini adalah lomba-lomba karya tulis ilmiah maupun karya tulis fiksi yang pernah diikuti para siswa. Jika mereka diberi motivasi dan diadakan pembinaan, potensi remaja dalam ajang tulis-menulis akan tumbuh kembang. Diperkuat pula, setelah acara rekaman selesai, kepada remaja ditanyakan bagaimana pembinaan di sekolah? Siswa mengaku kurang mendapat pembinaan sebagai mestinya di sekolah.

Karya penulis muda yang tersebar di berbagai toko buku boleh dibilang cukup mewakili remaja yang menekuni tulis-menulis. Sayang, rendahnya minat baca masyarakat kita menyebabkan kehidupan sebagai seorang penulis belum bisa menjanjikan masa depan walau ada sedikit penulis yang mendapatkan uang banyak dari karya tulis yang dihasilkan. Jumlah orang yang penghidupannya dari menulis di Indonesia tidak ada sekaya penulis Harry Potter. Kapan minat baca bangsa kita tinggi, saat itulah akan bermunculan orang-orang  Indonesia yang benar-benar  bisa hidup layak dari karya tulisnya.

Dalam acara televisi publik itu juga terungkap bahawa sistem ujian akhir sekolah (UN) ikut memberi andil kurang berkembangnya budaya menulis bagi remaja khususnya siswa. Walau dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ada kegiatan aspek  menulis, guru tidak bisa berbuat banyak karena dalam UN tidak diujikan keterampilan menulis, yang ada hanyalah pengetahuan menulis dengan tes pilihan ganda. Wajar budaya menulis kurang tumbuh dengan baik. Yang bisa tumbuh hanya bibit yang benar-benar unggul, anak hobi menulis.

Salah seorang nara sumber (orang bule) mesinyalir sistem pendidikan sebagai penyebabnya. Materi ujian akhir lebih banyak mengujikan pengetahuan (hapalan)  tidak akan membantu pertumbuhan aktivitas baca-tulis bagi remaja. Anak kurang biasa diajak memperluas wawasan untuk menghadapi masa depan lewat kegiatan membaca dan menuangkan gagasan-gagasan mereka lewat tulisan. Mereka lebih banyak berlatih menjawab berbagai model-model tes dalam ujian—pilihan ganda—ketimbang membaca buku utnuk menambah wawasan berpikir. Hapalan dalam ujian dikatakan lebih banyak memberikan beban kepada remaja daripada manfaat. Saat ujian mereka hapal, beberapa hari berikutnya sudah lupa. Mereka payah menghapalkan sesuatu sedangkan dalam kehidupan nyata tidak banyak dimanfaatkan.

Untuk menumbuhkembangkan aktivitas menulis, para remaja juga mengusulkan agar tugas-tugas menulis lebih diintensifkan. Tugas menulis bukan semata dalam pelajaran bahasa Indonesia saja, tetapi juga pada mata pelajaran lain agar siswa terbiasa menuangkan ide dan pikiran dalam bahasa tulis. Walau mulanya dirasakan pemaksaan, bagi mereka tidak masalah. Pemaksaan yang akhirnya mendatangkan hal yang positif tentu harus diterima. Diumpamakan seperti minum obat atau loloh yang menyembuhkan sakit, tidak selamanya manis  namun banyak yang pahit saat ditelan.

Aktivitas menulis juga menyehatkan pikiran, kata salah seorang nara sumber. Jika unek-unek yang ada dalam pikiran bisa keluar, maka pikiran akan terasa “plong”. Sepertinya penyakit yang ada dalam pikiran keluar. Kita juga belajar jujur, yakni  menyampaikan apa yang bercokol dalam pikiran (otak), tidak memendam sehingga muncul pikiran yang negatif. Selanjunya, terserah pembaca setuju atau tidak setuju  terhadap apa yang ditulis itu. Jadi, sependapat dengan apa yang pernah dikatakan orang bahwa menulis adalah menyehatkan pikiran.

Kalau kita ingin budaya menulis bisa tumbuh-kembang dengan subur di kalangan remaja, sistem  UN  harus ditinjau ulang. Dalam ujian sebaiknya ada uji keterampilan menulis. Kendalanya memang memerlukan waktu untuk memeriksa dan menilai karya tulis itu. Nilai bahasa yang hanya  dengan model soal pilihan ganda tidak akan banyak membuat  siswa terampil menulis karena guru tidak akan melatihkan siswa terampil menulis. Demi lulus ujian, guru akan melatihkan  cara memilih jawaban dalam tes pilihan ganda( a,b,c,d,e).  Pembelajaran keterampilan menulis akan tersisih begitu saja dan dikalahkan oleh latihan  menjawab  tes pilihan ganda.

 

05.22

PEMBINAAN GURU DAN MUTU PENDIDIKAN

Diposting oleh Tri Bana

 

          Masalah guru menghangat lagi pada peringatan hari ulang tahunnya walaupun persoalannya klasik—seputar kesejahteraan guru. Pada peringatan tahun lalu (2001) sudah diwacanakan tentang upaya mensejahteraan para guru. Para guru senang mendengarnya ketika itu. Sampai setahun (pada peringatan HUT PGRI, 25 Nopember 2002) peningkatan tunjangan fungsional belum terealisasi karena kemampuan keuangan negara belum memungkinkan. Guru pun memaklumi kondisi keuangan negara. Hanya ketimpangan gaji dengan birokrat dan anggota legeslatif yang membuat guru merasa kurang diperhatikan.

          Apa yang diwacanakan pada peringatan hari guru merupakan perhatian berbagai kalangan betapa pentingnya  kesejahteraan guru untuk meningkatkan mutu pendidikan. Mutu pendidikan kita masih jalan di tempat—jika tidak bisa dikatakan mundur—dibandingkan negara tetangga yang pernah belajar dari guru-guru Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah kualitas guru beberapa puluh tahun terakhir ini semakin menurun. Indikatornya, rendahnya daya saing para lulusan. Para lulusan menambah antrean panjang pengangguran.  Indikator lainnya rendahnya mutu pendidikan adalah perilaku anak/siswa yang memprihatinkan—tentu tidak semuanya.

Perilaku siswa adalah cerminan kondisi guru. Beberapa gurunya di sekolah tidak lagi mendidik, melainkan hanya mengajar sehingga sudah merasa puas hanya dengan deretan angka di rapor/STTB. Besarnya angka-angka itu—yang sering palsu—dijadikan indikator meningkatnya mutu pendidikan. Indikator yang palsu ini telah menyesatkan.

          Dalam konteks Bali, apa yang bisa dijadikan indikator mutu pendidikan dari segi perilaku? Sebelum ada penelitian ilmiah oleh para pakar, tampaknya penerapan “tri hita karana” bisa dijadikan tolok ukur. Keperdulian terhadap sesama manusia dan lingkungan masih jauh dari harapan juga merupakan  cermin keyakinan terhadap Tuhan. Bagaimana bisa penerapan karena mereka dijejali dengan hapalan-hapalan yang tidak terlalu penting dalam keseharian. Mestinya mereka belajar itu untuk kebutuhan hidup secara fisik (sisi intelek) dan nonfisik (sisi kematangan emosi, spirit). Perilaku anak banyak yang belum seirama dengan nilai-nilai “tri hita karana” maupun tujuan pendidikan  secara nasional (dalam GBHN).

          Kembali ke masalah kualitas guru, bagaimana sesungguhnya kualitas guru di SD, SLTP, SMU, SMK? Dari segi ijazah tampaknya  memadai bahkan banyak melampaui syarat minimal bahkan mengantongi ijazah Magister (S2). Dengan dilampaui syarat minimal belum menjadi jaminan pula kinerjanya lebih baik. Motivasi para guru mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi sangat menentukan. Tidak banyak yang bisa diharapkan kalau motivasi hanya mencari gelar.

          Sehubungan dengan peningkatan kualitas guru, ada baiknya kita kutip pendapat Mohamad Sobari ketika memberikan kata pengantar pada karya-karya Putu Wijaya pada buku Zig Zag (1996) bahwa  sebuah kearifan hanya bisa dicapai lewat pergulatan hidup. Apa yang bisa kita tafsirkan dalam konteks guru? Tampaknya para guru kita belum banyak bergulat dalam meningkatkan kualitas dirinya selaku guru. Keikutsertaanya dalam seminar, lokakarya, pelatihan, lebih banyak karena sertifikatnya atau perintah atasan. Ternyata kegagalannya selalu dilimpahkan kepada orang lain, seperti siswa, orang tua, atasan, masyarakat walaupun ada benarnya. Bergulatlah untuk mengatasi semua hambatan itu.

Ada guru tidak mau masuk kelas beberapa kali karena masalah sepele. Sikap guru yang suka  ngambul ini tentulah belum bisa dikatakan dewasa. Fenomena guru “ngambek” ini bukan asing lagi di mata anak. Karena guru tidak membiasakan murid untuk protes, maka persoalan guru yang belum dewasa ini nyaris tidak terdengar. Kepala sekolah pun ewuh pakewuh dan tidak melaporkan gurunya yang sering ngambek ini kepada atasannya—mungkin  takut dikatakan tidak bisa membina.

          Pembinaan guru sangatlah penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pembinaan guru selama ini adalah dari kepala sekolah dan pengawas. Karena sibuknya kepala sekolah menerima tamu, masalah administrasi  dan keuangan sering kinerja guru di kelas tidak terpantau. Pengawas pun jarang memantau ke kelas dengan berbagai alasan. Pengawas tampaknya belum menyadari bahwa pembinaannya sangat berarti dalam meningkatkan kinerja guru. Membina guru hanya lewat kehadiran di waktu rapat untuk berceramah tidak akan banyak meningkatkan kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sebetulnya Depdiknas telah berupaya meningkatkan kinerja para pengawas dengan cara menjadikan pengawas mata pelajaran. Pelaksanaannya? Masih seperti dulu yakni pengawas sekolah. Entahlah di mana hambatannya.

          Pengangkatan pengawas dari Pemkot/Pemkab hendaknya bukan lagi menampung usia pensiun atau karena mantan pejabat. Profesionalisme betul-betul menjadi pertimbangan dan yang tidak kalah pentingnya adalah tunjangannya. Ataukah, para bupati/walokota lupa akan pentingnya kehadiran seorang pengawas sekolah yang profesional sehingga masalah profesionalisme pengawas kurang mendapat perhatian. Misalnya, bagaimana bisa melaksanakan tugas untuk membina guru kalau tidak pernah menjadi guru. Menjadi pengawas bukanlah memarahi guru, melainkan membina bahkan sebagai mitra kerja. Bila perlu, pengawas memberikan contoh cara pembelajaran materi tertentu jika guru mengalami kesulitan di kelas.

           Sehubungan pembinaan guru, penataran/pelatihan guru sering dikatakan menghabiskan dana yang tidak sedikit namun belum banyak berarti dalam peningkatan kinerga para guru. Pendapat ini ada benarnya. Ada beberapa kendala/kelemahan yang ada. Pertama, motivasi guru—tentu  tidak semuanya—sangat rendah dalam mengikuti kegiatan. Mereka sekadar ikut karena taat perintah kepala sekolah atau sekadar mendapatkan serifikat untuk kenaikan pangkat. Kedua, ada yang berpikir negatif sebelum kegiatan dimulai baik terhadap nara sumber atau guru pendamping walau guru yang bersangkutan kinerjanya di sekolah belum dapat dikatakan baik. Akhirnya, beberapa pengalaman berharga dalam pelatihan lewat negitu saja. Ketiga, ada guru terlalu banyak berharap namun tanpa kreatif dalam kegiatan. Semestinya dalam kegiatan inilah terjadi tukar pengalaman atau berdiskusi tentang permasalahan yang dihadapi di sekolah. Keempat, sistem pelatihan perlu disempurbakan. Setelah kegiatan seolah proyek sudah selesai. Hendaknya ada  tindak lanjutnya di lapangan. Setelah pelatihan perlu ada pemantauan/pembinaan beberapa bulan di sekolah tempat tugas peserta oleh nara sumber atau tim pelatih (instruktur). Di samping itu pemantauan/pembinaan juga berfungsi untuk mengevaluasi apakah kegiatan pelatihan  efektif atau tidak.

Jadi, kegiatan pelatihan tidak selesai dalam beberapa hari saja sebab akan cendrung teori tanpa praktek. Pelatihan guru sesungguhnya tidak pernah berhenti karena guru adalah seorang pembelejar. Guru tidak akan bisa membelajarkan siswanya kalau ia sendiri tidak belajar atau berlatih terus-menerus.

           

 

    Banyak keluhan guru bahasa / sastra Indonesia  merasa sulit bagaimana mengajarkan menulis puisi kepada anak. Mengajarkan menulis puisi itu dirasakan cukup sulit. Mengapa? Salah satu sebabnya mungkin kita selaku pendamping/pembina tidak pernah menulis puisi.Tentulah tidak semua guru bahasa/sastra Indonesia memiliki bakat menulis puisi.  Bagaimana kita mengajarkan menulis puisi kalau kita sendiri belum pernah melakukannya? Memang idialnya guru bahasa/sastra Indonesia pernah/biasa menulis apa saja.

    Kita sering menakut-nakuti dan memararahi terlebih dahulu kepada anak bahkan dengan sedikit ancaman kalau kita memulai sesuatu yang kita anggap sulit seperti menulis puisi untuk menutup-nutupi kekurangan kita. Hal  ini tentu sudah lumrah untuk menutupi kelemahan kita. Kita tidak bisa menjawab pertanyaan anak sering juga marah-marah agar anak tidak berkutik.  Kalau ini sering terjadi kita sudah menyakiti diri sendiri. Zaman  sekarang jarang anak yang pintar/terampil, akan hormat kepada gurunya kalau mereka sering dimarahi di luar batas. Ingatlah kalau kita marah kepadanya, dia pun marah kepada kita. Anak pun banyak tahu kelemahan kita ini. Kalau ada waktu cobalah bertanya kepada anak. Idialnya pertanyaan kita kepada anak dalam hal ini "Apa kesulitan Kalian"?

    Marilah kita cari cara  jalan pemecahannya. Untuk memulai menulis puisi tidaklah terlalu sulit bagi anak kalau kita selaku pendamping/guru mau sedikit berusaha. Jika sekolah kita kebetulan lokasinya dekat pantai, kita bisa melihat pemandangan yang indah tentu merupakan rahmat bagi kita dalam memanfaatkan sebagai inspirasi dalam menulis puisi. Jika sekolah mempunyai program karya wisata, kemah di akhir catur wulan kita manfatkan situasi itu untuk belajar menulis puisi. Contoh nyatanya adalah ketika kelompok pecinta alam menelusuri gunung(mendaki) atau menelusuri pantai/sungai, bersamaan dengan kegiatan ini siswa pecinta sastra kita ajak menulis puisi. Kalau menulis puisi hanya di kelas tentang pemandangan alam memang menyulitkan. Kegiatan ini memang hanya bisa dilakukan sekali setahun. Di sisi lain, umumnya orang tua mengeluh dengan kegiatan ini karena dianggap hanya mengabiskan uang. Kalau memungkinkan sebulan sekali anak karya wisata secara terpadu untuk berbagai kegiatan adalah sangat baik. Di negara yang sudah maju(kebetulan penulis pernah melihat di Australia), cara ini sudah terprogram. Kalau anak mempelajari tentang hewan misalnya, di akhir pekan anak di ajak ke kebun binatang. Kalau di daerah kita tidak ada kebun binatang, tentu kita bisa mengajak anak ke kandang sapi misalnya untuk mengamati sesuatu. Tidak usah tempat yang jauh. Inilah salah satu kelemahan pendidikan kita, kita  menamkan sesuatu hanya di dalam kelas yang bersifat verbalis dan vokalis. Akibatnya, tamatan sekolah kita lebih banyak omongnya(tentu ada yang bagus dan tidak bagus) tetapi  kerja nyatanya banyak yang merusak alam demi kepentingan sesaat.  

Cara lain yang agak mudah dilakukan adalah dengan menggunakan postcard bergambar seperti gambar pemandangan alam, gambar aktivvitas manusia atau gambar yang lainnya. Dengan menggunakan media ini, anak merasa lebih mudah menuangkan idenya sebab mata mereka(anak) telah dapat melihat sesuatu yang konkret dalam gambar, tinggal anak memilih dan mengolah kata untuk dijadikan puisi. Cara ini tentu sangat layak dimulai  dari jenjang pendidikan pada tingkat dasar. Cara memperoleh media ini sangat gampang. Pada sistem pendidikan seperti sekarang ini yaitu murid umumnya  belajar di dalam kelas, penggunaan berupa gambar hasilnya pasti lebih baik, apalagi anak yang tinggal di kota yang lingkungannya lebih banyak alam berbeton, alam yang keras akibat rekayasa manusia. Tetapi, syukurlah otak anak bukan otak beton.

 

 

 

05.22

Apa Kriteria Masyarakat Miskin?

Diposting oleh Tri Bana

Kriteria miskin di masyarakat hampir tidak ada. Kalaupun ada sangatlah relatif sifatnya. Demikian pula antara wilayah yang satu dengan yang lain bisa berbeda, bahkan antardesa. Bisa saja di desa tertentu karena tidak punya sepeda motor, yang bersangkutan digolongkan miskin. Bahkan, gara-gara akan ada bantuan konpensasi BBM ada saja yang mengusulkan keluarga dekatnya dimasukkan keluarga miskin. Misalnya, ada raskin (beras untuk orang miskin) diterima oleh orang yang sesungguhnya kurang layak menerimanya. Memang di masyarakat hampir tidak ada ukuran yang pasti untuk mengelompokkan sesorang itu miskin atau tidak.

          Untuk mengetahui kriteria yang standar (berlaku secara nasional), tentu kita bisa mencatatnya di Kantor Biro Pusat Statistik (BPS) Bali. Menurut Kabid Statistik Sosial pada BPS Propinsi Bali, Eko Marsoro, sudah ada kriteria untuk mengelompokkan masyarakat miskin. “Kita tidak dapat mengelompokkan orang termasuk masyarakat miskin atau tidak bersadarkan penampilannya atau jenis mata pencahariannya maupun kecilnya penghasilan” kata Eko Marsoro. BPS telah memiliki kriteria yang jelas.

          Menurut Eko Marsoro, dilihat dari sisi konsumsi ada pada batas 2100 kalori per kapita. Jika dihargakan dengan uang, konsumsi per kapita mencapai kira-kira Rp175.000 sebulan. Hitungan rupiah ini termasuk di dalamnya pangan, sandang, dan papan. Jika kurang mencapai jumlah itu, maka dapat dikelompokkan masyarakat miskin. Itulah kriteria kebutuhan jasmani.

          Selain itu masih ada 14 variabel yang dijadikan kriteria disertai bobot masing-masing, di antaranya: sumber air untuk kebutuhan keluarga (misalnya air dari PAM); aset yang dimiliki (tabungan, ternak); bahan bakar yang digunakan untuk masak; pakian; frekuensi makan setiap hari; dinding rumah; jamban keluarga; jenis bahan lantai rumah; luas lantai rumah; konsumsi daging, ayam, susu;  lapangan pekerjaan; kemampuan berobat; pendidikan; penerangan lampu dalam rumah.

          Bulan Agustus-September 2005 telah diadakan pendataan di seluruh Indonesia. Khusus untuk pendataan di wilayah Propinsi Bali hasilnya sudah dikirim ke pusat. Pengolahan datanya ada di pusat. “Bagaimana hasilnya sedang kita tunggu” tegas Eko Marsoro. Hasil pengolahan di tingkat pusat ini pula akan dijadikan acuan untuk masyarakat yang berhak menerima bantuan konpensasi subsidi BBM nantinya. Demikian ungkap Eko Marsoro.

          Pendataan masyarakat miskin sesungguhnya merupakan suatu kebutuhan. Hal ini bertujuan mengurangi perbedaan data masayarakat miskin yang ada di suatu intansi karena kriterianya memang beda. “Bagaimana kondisi tahun 2004 lalu?” tanya Tokoh kepada Kabid Statistik Sosial pada BPS Propinsi Bali. Menurut Eko Marsoro, tahun lalu tingkat kemiskinan kira-kira mencapai 8%. Angka terbanyak ada di Kab. Buleleng dan Karangasem

05.21

Tawuran, Siapa Takut?

Diposting oleh Tri Bana

Jika di kota besar seperti Jakarta terjadi tawuran antar pelajar, itu sudah berita biasa. Namun, sungguh mengejutkan masyarakat di Bali berita tentang tawuran anak sekolah (SMP) yang melanda Bali khususnya kota Denpasar. Lebih mengejutkan lagi yang tawuran itu justru dari anak yang sekolahnya sudah memiliki nama dan presatasi papan atas. Di kedua sekolah itu telah dilakukan pembinaan yang baik. Prestasi sekolah itu pun telah diakui oleh masyarakat di daerah ini bahkan sampai tingkat nasional. Siapa menyangka akan terjadi tawuran?
Dengan terjadinya tawuran ini tampaknya tidak ada jaminan bahwa di suatu sekolah tidak akan terjadi tawuran. Jangankan di tingkat sekolah SMA/SMK—yang fisiknya sudah sebesar guru, di SMP saja ternyata sudah adu fisik. Bukan sebatas anak SMP, pernah juga terjadi keroyokan terhadap di salah satu SD di Denpasar Timur. Kebrutalan tidak memandang besarnya fisik. Dari kejadian ini tampaknya pertanda juga bahwa menjelang pemilu ada potensi konflik yang sangat besar pada masyarakat Bali, seperti kata salah seorang paranormal kondang (berita TV). Semogalah sebatas ramalan.
Sadar atau tidak, kita harus mengakui bahwa pendidikan yang mengarah kepada pembentukan karakter berbudi pekerti, kematangan emosional, dan spritual belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan bersama. Mengambinghitamkan salah satu pihak, misalnya sekolah atau orang tua, atas tawuran itu tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Yang menjadi pertanyaan kita selaku orang tua, mengapa anak-anak bisa tawuran?
Menurut penulis salah satu penyebab ABG tawuran adalah tayangan film di televisi. ABG yang sedang mencari jati dirinya tentu tidak lepas dari pigur yang menjadi idola mereka. Di samping itu mereka tidak seutuhnya dapat menangkap maksud kisah dalam film. Mengapa penulis berpendapat pengaruh dari film? Semenjak tayangan film-film remaja yang mengambil tokoh cerita anak sekolah, cara berpakian itu menjadi model anak remaja—berpakaian sekolah sesuka hatinya. Kini kondisi berpakian tokoh sinetron itulah yang diikuti oleh anak. Adanya aturan bagaimana berpakaian sekolah, mereka acuh tak acuh. Jadi, salah satu penyebab kekerasan anak sekolah adalah tayangan film remaja yang kurang berakar pada budaya—apalagi budaya lokal. Penulis, selaku guru, prihatin juga terhadap tayangan film di televisi yang mngisahkan kekerasan ABG. Adegan-adegan kekarasan itu telah membuat anak-anak semakin jauh dari nilai-nilai luhur yang menjadi kekayaan hati nurani manusia.
Penyebab lain, banyak kalangan berpendapat bahwa hanya dengan menguasai IPTEK bangsa kita bisa maju. Memang tidak salah pendapat itu. Eh, ternyata yang terjadi lain. Kalangan ini lupa akan nilai-nilai. Kebanyakan anak kita kurang menguasai ilmu, ditambah perilakunya yang memprihatinkan. Jika dibiarkan terus, semakin rusaklah karakter dan kualitas pribadi anak-anak kita di masa-masa mendatang. Menjadi konsumen miras pun bukan rahasia lagi di kalangan remaja kita. Bukankah anak-anak tawuran di Jalan Surapati itu ada yang meneguk minunan keras sebelumnya (berita Bali Post, 21 Pebruari 2004)
Berkait kenakalan remaja, ada sejumlah persoalan yang perlu direnungkan. Apakah sekolah tidak mampu menanamkan nilai-nilai budi pekerti sebagaimana yang dilakukan oleh guru masa lalu? Pada konteks masa kini, apakah kita selaku orang tua juga sudah kehilangan nilai-nilai luhur kekayaan hati nurani sehingga egois? Atau, lingkungan masyarakat dan ditambah tayangan televisi sudah menyimpang dari budi pekerti? Tampaknya semua jawaban yang samar atas pertanyaan itu telah memicu anak untuk brutal terhadap temanya maupun lingkungannya. Bukankah juga anak tawuran gara-gara mereka kurang memperhatikan lingkungan—membuang plastik pembungkus es sembarangan?
Sesungguhnya anak krisis panutan. Sekarang semakin sedikit “orang tua” maupun “yang dituakan” memberi teladan kepada anak-anak. “Orang tua” maunya menang sendiri. Kesalahan dilimpahkan kepada anak-anak atau pihak lain. Sudah lumrah orang tua dan masyarakat menyalahkan sekolah, sekolah menyalahkan orang tua dan masyarakat. Saling menyalahkan. Kalau terus saling menyalahkan, tentu permasalahan tidak akan selesai bahkan semakin bertambah.
Perhatian setiap orang sangat diperlukan lebih-lebih pihak pemerintah selaku memegang kebijakan pendidikan. Kalau persekolahan kita sekarang didominasi oleh penekanan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah akibat kebijaksanaan pemerintah terdahulu—sistem pendidikannya—yang hanya melihat pendidikan dari satu sisi, kecerdasan intelektual. Seolah-olah manusia dalam kehidupannya cukup dengan penguasaan iptek. Ini pendapat keliru karena menyimpang dari tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam GBHN—membentuk manusia seutuhnya yakni fisik dan mental.
Pendidikan budi pekerti dan iptek hendaknya diselaraskan. Khusus pada pendidikan dasar hendaknya diprioritaskan penanaman nilai-nilai dasar seperti mencintai sesama, keagamaan, sosialitas, gender, keadilan, demokrasi, kejujuran, kemandirian, tanggung jawab, penghargaan terhadap lingkungan. Keadaannya sangat berbeda dari harapan, tidak sedikit anak pada pendidikan tingkat dasar hingga menengah telah merasakan belajar sebabagi suatu beban. Orang tua dan guru sering mengeroyok anak dalam memaksakan kehendak sehingga mereka jenuh belajar. Kejenuhan mereka inilah kadang dilampiaskan dengan tawuran.
Sesungguhnya kejenuhan-kejenuhan berawal dari pendidikan di tingkat awal. Misalnya, anak TK sudah dipaksa agar bisa membaca, menulis, bahkan matematika. Ada kesan belajar itu kurang menyenangkan. Mestinya di TK adalah penanaman nilai-nilai budi pekerti lewat mendongeng (bersastra). Disayangkan pula kegiatan bersastra sangat tidak memadai pada pendidikan tingkat dasar (SD). Setelah anak menginjak remaja (SMP) baru diberikan sastra dengan penekanan yang sering salah—menekankan pengetahuan/hapalan, mestinya apresiasi terhadap nilai-nilai. Kalau pembelajaran sastra itu benar, di sinilah anak bisa belajar tentang karakter manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.
Pendidikan budi pekerti tidak akan berhasil kalau kurang ada keteladanan dari orang-orang yang mestinya menjadi teladan seperti guru, orang tua, aparatur pemerintah, penegak hukum, pemuka masyarakat, anggota legeslatif. Salahkah anak-anak tawuran kalau “orang tua” yang mestinya menjadi panutan sering berantem bahkan nyata-nyata berkelai di gedung terhormat (gedung DPR/MPR). Kalau “orang tua” mereka suka ribut, jangan salahkan anak-anak ribut. Jadilah “orang tua” yang bisa diteladani, bila perlu belajar bersama anak.

05.21

Akankah SDM “Kartini” Mengungguli … ?

Diposting oleh Tri Bana

Tanggal 21 April identik dengan Hari Kartini, peringatan hari kelahiran tokoh wanita Indonesia, penulis buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kartinilah yang membuka “mata” kaum wanita Indonesia bahwa kaumnya punya hak—yang harus diperjuangkan—di samping kewajiban. Istilah hak emansipasi pun pepuler karenanya. Masih perlukah hak emansipasi itu diperjuangkan?
Sekarang, tanggal 21 April ini bukanlah sekadar peringatan untuk mengenang jasa R.A. Kartini. Hari Kartini sekurang-kurang dipakai sebagai ajang melihat bagaimana kiprah kaum wanita Indonesia sehingga pada akhirnya tidak perlu lagi ada menteri yang mengurusi kaum wanita karena wanita benar-benar sudah sejajar dengan kaum laki-laki. Adanya menteri mengurus soal wanita memberikan kesan bahwa wanita belum maju.
Berbicara masalah wanita, memang terlalu luas ruang lingkupnya. Untuk itulah penulis batasi kepada kelompok wanita remaja putri. Bagaimana kiprah remaja putri kita, tampaknya ada baiknya kita angkat sebagai isu dan bahan diskusi. Remaja putri yang akan penulis kemukakan adalah remaja putri yang umumnya berstatus sebagai pelajar. Penulis yang kebetulan sebagai seorang guru akan menyoroti isu-isu seputar kiprah remaja putri di sekolah. Demikian juga aktivitas lawan jenisnya, para pelajar putra sebagai kaum laki-laki sebagai pembanding.
Bagaimana keseriusan remaja putri (kaum wanita) belajar dibandingkan dengan remaja putra (kaum laki-laki) di sekolah? Apa yang penulis kemukakan berikut ini bukanlah hasil penelitian ilmiah, melainkan kesan dari pengamatan sekilas. Untuk meyakinkan kesan itu penulis mencoba minta informasi kepada sejumlah teman guru di lima SMA Negeri dan satu SMA swasta favorit di kota Denpasar. Dari semua guru yang dimintakan informasi itu diperoleh data bahwa kesungguhan belajar lebih banyak pada murid wanita. Kalau dilihat dari peringkat satu sampai sepuluh misalnya, ternyata kebanyakan yang termasuk di dalamnya adalah pelajar wanita. Memang ada dalam kelas tertentu peringkat satu atau dua adalah murid laki-laki namun setelah dilihat sampai peringkat sepuluh ternyata didominasi oleh murid wanita.
Ada beberapa fenomena lain yang dapat dijadikan bahan diskusi atau analisis kasus. Akan dimulai dari aktivitas remaja di dalam kegiatan ekstrakurikuler; jurnalistik dan karya ilmiah remaja—kebetulan penulis menangani dan sebagai pembinanya. Kegiatan ekstrakurikuler ini lebih banyak memerlukan ketekunan di samping kecerdasan pikiran dan banyak membaca. Pesertanya hampir semuanya pelajar putri. Pada kegiatan jurnalistik yang jumlah pesertanya sekitar tiga puluh orang, hanya satu orang pelajar laki-laki (putra). Kemudian peserta ekstrakurikuler karya ilmiah remaja semuanya pelajar putri. Kondisi ini telah berlangsung beberapa tahun terakhir ini.
Bahwa anak laki-laki kurang menyukai kedua aktivitas yang memerlukan ketekunan dan olah-pikiran, telah menimbulkan pertanyaan berkaitan dengan SDM kita. Pastilah SDM di masa depan lebih banyak diperlukan kerja olah-pikiran dan ketekunan. Keunggulan manusia tidak terletak pada kekuatan kerja fisiknya, melainkan kerja pikirannya. Seperti diketahui, upah tenaga kerja yang mengandalkan kekuatan fisik pastilah lebih rendah daripada upah yang memerlukan kekuatan pikiran. Upah seorang buruh pastilah lebih kecil daripada seorang mandor.
Dalam kegiatan pembelajaran di kelas, pelajar putri lebih banyak menunjukkan kesungguhannya dibandingkan pelajar putra. Jika ada tugas yang harus dikumpulkan, misalnya: peper, kebanyakan anak putra mengumpulkan belakangan. Kalau ada tugas kelompok baik PR maupun tugas di kelas, tidak sedikit pula pelajar putra hanya menumpang nama pada tugas kelompok yang dikumpulkannya itu. Demikian pula jumlah pelajar yang mengunjungi dan meminjam buku di perpustakaan. Murid laki-laki lebih kecil jumlahnya meminjam buku atas kesadaran sendiri. Kebanyakan pelajar putra yang meminjam buku di perpustakaan itu semata-mata karena tugas atau perintah dari guru.
Mengapa remaja putri lebih tekun belajar? Kalau ditelusuri fenomena-fenomena seperti itu tentu tidak lepas dari situasi pendidikan dalam keluarga dan sosial budaya masyarakat (Bali) apalagi si anak itu adalah anak laki-laki satu-satunya. Anak laki-laki sat-satunya itu tentu diistimewakan. Permintaan-permintaannya dipenuhi begitu saja tanpa banyak pertimbangan. Misalnya, dengan menjual tanah pun jadi untuk membeli mobil—demi anak laki-laki. Kalau sudah dimanjakan secara berlebihan, tentu akan berpengaruh besar terhadap pola pikir, aktivitas belajar, dan perilaku kesehariannya. Kalau anak laki-laki lebih malas, dianggap hal yang lumrah.
Karena dalam belajar remaja putri lebih tekun, maka ada kemungkinan SDM wanita akan menggungguli SDM kaum laki-laki di masa depan. Memang kini belum banyak terjadi wanita mengungguli laki-laki sebab wanita pada masa lalu tidak banyak mengenyam pendidikan formal. Jika kasus yang penulis kemukakan juga terjadi di tempat lain apalagi secara generalisasi, tentu prediksi itu akan menjadi kenyataan.
• igk tribana