Tribana

Ini Adalah Blog pribadi saya yang bercerita tentang suka duka menjadi GURU

22.10

Bila Si Ibu Menirukan Bahasa Balita …

Diposting oleh Tri Bana

Berkomukasi dengan balita (baca juga: masa anak mulai belajar bahasa) memberi kesenangan tersendiri, lebih-lebih bagi si ibu balita. Komunikasi itu bisa berupa; mengajak balita bicara, menggoda. Komunikasi ini dilakukan tanpa peduli apakah si kecil bisa menyahuti atau tidak. Bukan sebatas penghuni rumah, bahkan setiap orang yang sempat metatap si balita mengajaknya bicara disertai gerakan tubuh yang lucu-lucu agar si balita bereaksi. Senyuman atau suara si balita disertai gerakan tangan, kaki, dan bagian tubuh yang lain setelah diajak berkomunikasi oleh orang dewasa, dirasakan sebagai hadiah yang tak ternilai harganya. Reaksi apapun yang dilakukan balita terasa sangat lucu. Suasana tegang dalam rumah tangga pun dapat diubah menjadi ceria oleh reaksi balita.
Di balik kesenangan berkomunikasi dengan balita, ada kesalahan yang sudah mendarah daging yang diperbuat oleh si ibu balita (termasuk orang dewasa lainnya) pada masa-masa balita mengalami pemerolehan bahasa yang pertama. Kesalahan apa yang dimaksud? Ambillah contoh, saat balita mulai dapat mengucapkan kata ‘ma’ untuk kata ‘mama’, kata ‘pa’ untuk kata ‘papa’, dan sejumlah kata lainnya. Umumnya si ibu dan orang dewasa yang ada di sekitar si kecil itu menirukan bentuk bahasa balita yang belum sempurna itu. Kesalahan itu berlangsung tanpa disadari karena rasa sayang kepada balita.
Kata yang mampu diucapkan saat-saat mulai belajar bahasa ini adalah kata bersuku dua dan kata-kata yang dekat dengan kehidupan si balita (Soenjono Dardjowidjojo, 2005). Kemudian, si ibu dan orang dewasa lainnya ikut mengucapkan satu suku kata (kata belum sempurna) yang keluar dari mulut si balita. Si balita belum mampu mengucapkan kata secara sempurna semata-mata karena masih dalam proses belajar. Kebiasaan menirukan bentuk bahasa balita yang masih dalam proses itu tentu berakibat kurang baik dalam pemerolehan bahasa pada anak.
Bagaimana sebaiknya? Berdasarkan teori yang dikemukakan Soenjono Dardjowidjojo, si ibu semestinya tidak menirukan ucapan si balita yang belum sempurna itu, melainkan tetap mengucapkan kata secara benar sehingga balita lebih cepat bisa mengucapkan kata secara benar. Kebiasaan si ibu atau orang dewasa lainnya yang selalu mengikuti/mengulangi ucapan si balita yang belum sempurna itu akan menghambat perkembangan anak mengusai bahasa.
Ketika mendengar bunyi bahasa dari orang dewasa, di otak balita muncul berupa hipotesis yang selalu disempurnakannya sehingga mampu mengucapkan dengan sempurna. Karena itu, kebiasaan orang dewasa menirukan bentuk bahasa balita berarti memberikan masukan (input) yang tidak benar—mengacaukan hipotesis—kepada si balita tentang ucapan bahasa yang semestinya dikuasai anak. Bentuk (ucapan) bahasa akan dikuasai lebih cepat jika input dari orang dewasa benar. Demikian, Soenjono Dardjowidjojo (pakar dari Unika Atma Jaya) mengemukakan hasil penelitiannya tentang pemerolehan bahasa pada anak. Hasil penelitian ini tentu penting bagi ibu-ibu yang balitanya sedang mengalami pemerolehan bahasa. Karena si ibu yang mendominasi berkomunikasi dengan balita pada saat anak mengalami pemerolehan bahasa pertama, maka bahasa pertama yang dikuasai itu disebut bahasa ibu (B-1).
Sehubungan dengan proses belajar bahasa bagi balita, beberapa hasil penelitian Soenjono Dardjowidjojo tampaknya perlu diketahui selain oleh para ibu balita maupun guru bahasa, kemudian dijadikan acuan ketika mengajarkan bahasa kepada anak. (1) Anak tidak diajar berbahasa oleh orang dewasa. (2) Anak tidak menirukan sepenuhnya ucapan orang dewasa. (3) Anak membentuk hipotesis dan merevisinya sampai hasilnya benar 100%. Dalam membentuk hipotesis ini peran input dari si ibu atau orang dewasa sangat berarti dalam memepercepat pemerolehan bahasa pada anak untuk menuju kesempurnaan penggunaan bahasa.
Teori Soenjono itu pernah disampaikan dihadapan guru bahasa Indonesia. Guru bahasa yang kurang memahami teori belajar bahasa seperti yang dikemukakan oleh Soenjono menentang untuk pernyataan butir pertama—anak tidak diajar bahasa oleh orang dewasa. Soal pertentangan pendapat/teori bagi seorang pakar sekaliber Soenjono bukanlah hal yang baru. Apa yang dikemukakan oleh Soenjono tentu berdasarkan hasil penelitian ilmiah. Seperti biasanya, hasil penelitian ilmiah kurang banyak diimplementasikasi oleh masyarakat bahkan pihak yang berkepentingan dalam bidangnya sekalipun. Sangat disayangkan hasil penelitian para pakar hanya menjadi konsumsi para pakar. Sedangkan di pihak orang tua dan guru sebagai ujung tombak dalam pembelajaran bahasa, selalu memojokkan anak jika mengalami kegagalan.
Terhadap butir yang kedua, anak tidak menirukan sepenuhnya ucapan orang dewasa’ dapat dipahami karena si balita baru belajar. Balita masih mengalami kesulitan menirukan bahasa yang diucapkan orang dewasa apalagi kata yang suku katanya lebih dari dua. Jika orang dewasa mengucapkan kata yang bersuku dua, maka balita hanya mampu mengucapkan satu suku kata terakhir saja pada mulanya. Tetapi, kesalahan si balita itu semata-mata dalam proses belajar. Si balita akan terus berusaha mengucapkan kata secara benar.
Peran orang dewasa khsususnya si ibu balita sangat penting dalam pemerolehan B-1 ini. Menurut Soenjono kekurangsempurnaan ucapan si balita tidak perlu ditirukan. Biarkan anak mengucapkan sesuai dengan kemampuannya. Kalau ditirukan, proses perbaikan ucapan bahasanya akan dihambat sebab si anak membentuk hipotesa berdasarkan input (masukan) yang diterima dari orang dewasa. Si ibu hendaknya tetap mengucapkan kata secara benar agar hipotesis yang dibuat anak tidak keliru tentang ucapan kata yang benar. Menurut hasil penelitian itu kesalahan hipotesa anak akan selalu direvisi oleh si anak itu sendiri sampai benar 100%.
Kesalahan dalam proses belajar adalah alamiah. Sayang, di jenjang pendidikan formal (dari SD hingga sekolah lanjutan) guru sering kurang mengapresisi kesalahan yang dialami oleh anak yang sedang dalam proses belajar itu. Dari sisi kejiwaan, kuranglah tepat kalau kesalahan si anak selalu ditonjol-tonjolkan dalam proses belajar. Penonjolan kesalahan akan berdampak negatif karena motivasi belajar anak akan menurun. Ia takut dicemoh atau ditertawakan (sebagai ejekan) kawannya atau guru. Jangankan anak, orang dewasa pun akan kecewa jika diejek.
Dalam perkembangan selanjutnya, anak pun akan malas mencoba atau beraktivitas berkaitan dengan peningkatan penguasaan bahasa—seolah kesalahan itu sebagai suatu dosa yang tak terampuni. Mungkin pula ada anak yang menjadi gagap akibat rasa takut yang berlebihan. Jadi, kondisi kurang baik itu tentu pula berasal dari kekeliruan orang dewasa (orang tua dan guru) sebelumnya yang kurang memahami kejadian alamiah itu yakni kesalahan dalam proses belajar bersifat universal.

0 komentar: