Tribana

Ini Adalah Blog pribadi saya yang bercerita tentang suka duka menjadi GURU

1.    Pendahuluan

1.1         Latar Belakang Masalah

 

Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia selama ini belum mampu memenuhi harapan sebagaian besar masyarakat (Sayuti,2003). Bukan sebatas itu, hampir belum pernah terdengar  mutu pembelajaran sastra yang menggembirakan, seperti yang terungkap pada pertemuan sastrawan di tingkat daerah. Menurut Suminto A. Sayuti, sesungguhnya pelaksanaan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia diharapkan mampu mencapai tingkatan yang terkait dengan upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa,” menuju kehidupan yang lebih modern dan beradad.

Berkaitan dengan mutu pelajaran bahasa dan Sastra Indonesia yang belum mengembirakan itu dalam pertemuan para sastrawan di Balai Bahasa Denpasar beberapa waktu lalu seorang sastrawan, Nyoman Manda dari Gianyar, berkata “Kami siap datang ke sekolah jika diundang oleh guru sastra”. Tepuk tangan para guru dan sastrawan saat itu terdengar sebagai dukungan. Kesiapan Nyoman Manda ini disampaikan setelah salah seorang guru melontarkan permohonan agar sekali waktu sastrawan bersedia datang ke sekolah untuk berkomunikasi dengan para siswa dalam rangka menumbuhkan kualitas apresiasi sastra pada anak. Para sastrawan lain yang hadir ketika itu tampaknya juga menyetujuinya. Karena itulah para guru (termasuk penulis) menindaklanjuti kesiapan para sastrawan itu dalam meningkatkan mutu pembelajaran sastra. Penulis pun mengundang oara sastrawan ke kelas untuk berkomunikasi dengan siswa.

Sebagai suatu strategi, seorang guru mata pelajaran sastra Indonesia umumnya jarang, bahkan belum pernah, mengundang seorang sastrawan untuk hadir di depan para siswanya—salah satu konsumen karya sastra. Sesungguhnya sastrawan dengan senang hati mau datang ke kelas untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Selama ini tampaknya guru  masih menjadi “nara sumber tunggal” di dalam pembelajaran sastra. Masih disyukuri jika “nara sumber tunggal” itu mengajak anak-anak menggali nilai-nilai karya sastra (apresiasi) dalam pembelajaran sastra. Kurikulum yang baik belum tentu hasilnya baik kalau gurunya belum… Label KBK dalam kurikulum yang diterapkan di sekolah belum menjamin suasana pembelajaran di dalam kelas bernuansakan apresiasi sastra jika pihak guru belum siap.

Guru perlu mengupayakan agar kadar apresiasi sastra pada anak-anak lebih baik daripada sebelumnya. Salah satu caranya adalah mengundang sastrawan untuk bersastra dan sekaligus berkomunikasi dengan anak-anak di dalam kelas. Hadirnya sastrawan di dalam kelas akan membuat suasana pembelajaran sastra beda dengan hari sebelumnya. Cara ini diharapkan akan menjawab pertanyaan, “Betulkah anak-nak kebanyakan tidak punya minat dalam mengapresiasi karya sastra?”

 

1.2 Permasalahan

(1)   Bagaimana apresiasi sastra siswa dengan kehadiran sastrawan di kelas?

(2)   Bagaimana motivasi siswa mengapresiasi karya sastra setelah berkomunikasi dengan sastrawan?

(3)   Bagaimana tanggapan sastrawan setelah berkomuniukasi dengan siswa?

1.3

Selaku guru sastra, penulis akan berbagai pengalaman kepada rekan sejawat, guru mata pelajaran sastra. Bukanlah berlebihan kalau penulis kemukakan ketika (Kamis, 2 Desember 2004) sastrawan yang diundang itu meninggalkan sekolah menyampaikan kesannya bahwa anak cukup antusias dalam pembelajaran sastra. Tidak terasa waktu yang untuk tatap muka itersedia itu tidak cukup. Sedang hangatnya komunikasi, tanya jawab antara sastrawan dan anak-anak, bel telah berbunyi sebagai tanda waktunya habis. Menurut sang sastrawan anak telah mengapresiasi karya dengan baik—untuk ukuran seorang murid SMA. “Bagus, bagus, apresiasi anak terhadap karya sastra” kata sang sastrawan. Biasalah…selaku manusia biasa, penulis senang muridnya disanjung. Kalau dipikir-pikir, sanjungan ini adalah tantangan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sastrawan.

Hadirnya sastrawan di dalam kelas memang bukan hal baru. Program SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya), “Proyeknya Majalah Horizon” telah membuat suasana sekolah yang didatangi bernuansakan kesastraan. Sayang, kondisi ini tidak menjadikan guru punya inisiatif mengundang sastrawan lokal untuk bicara di  dalam kelas pada waktu pelajaran sastra. Wajar pula anak-anak bosan dalam pelajaran sastra. Materi pembelajaran sastranya penuh dengan hapalan-hapalan. Kalaupun suasana pembelajaran apresiatif, sering pula pihak guru kurang siap untuk berdebat dengan anak-anak selaku sama-sama pengapresiasi karya sastra. Anak-anak selalu diceramahi. Anak-anak pun takut menyampaikan pendapatnya jika berbeda dengan pendapat gurunya. Para guru yang selalu mendikte anak-anak dalam mengapresiasi sastra tentulah akan membuat pembelajaran sastra kurang bergairah.

Karena tulisan ini sifatnya lebih banyak berbagi pengalaman, maka terasa perlu diinformasikan teknis pelaksanaannya. Mudah-mudahan teman sejawat, guru-guru sastra dapat melaksanakannya. Sebagai seorang guru, tentu kita terus berupaya meningkatkan kualitas pembelajaran sastra. Kualitas pembelajaran sastra sesungguhnya bukan semata ditentukan oleh tingginya nilai rapor atau nilai ujian akhir yang diperoleh oleh para murid. Kualitas sesungguhnya akan ditentukan seberapa jauh kepekaan pikiran dan perasaan peserta didik setelah diberi pendidikan. Kalau belum, guru belum dapat menepuk dada bahwa ia telah berhasil mengemban misinya sebagai seorang guru, khususnya sebagai seorang guru sastra. Kematangan, kepekaan pikiran dan perasaan peserta didik dalam menghadapi persoalan kehidupan adalah cermin bahwa guru telah dapat “memanusiakan manusia”.

Agar terjadi komunikasi yang baik antara siswa dengan sang sastrawan, maka beberapa hari sebelumnya anak-anak ditugaskan membaca karya sastra yang ditulis oleh sastrawan yang bersangkutan. Kendala pertama, tentulah dalam pengadaan buku atau karya sastra yang bersangkutan. Masalah pengadaan buku adalah persoalan klasik di dunia pendidikan kita. Entahlah bagaimana caranya agar karya sastra tersedia untuk sejumlah anak di kelas yang akan didatangi oleh sang sastrawan. Tentu diperlukan campur tangan kepala sekolah dan komite sekolah. Sambil membaca, anak-anak dianjurkan menuliskan pertanyaan-pertanyaan.

Dari catatan penulis, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh siswa beragam. Murid-murid yang sudah pernah menulis cerpen, pertanyaannya berupa bagaimana seorang pengarang mendapat ide/inspirasi dalam menulis cerpen. Siswa ini juga menyampaikan bahwa ia sering mandeg dalam pertengahan cerita. Ada pula siswa menyampaikan terasa berat memahami karya sastra yang ditulisnya. Seberapa jauh batas khayalan dan kenyataan dalam sebuah karya sastra. Pertanyaan-pertanyaan lain pun tidak kalah antusisnya disampaikan oleh anak-anak. Jawaban-jawaban atas pertanyaan umunya memuaskan sehingga para siswa bergairah. Walau tampak ada sedikit yang kurang memuaskan mereka tentu wajar. Namun, semua itu akan menjadi catatan tersendiri bagi seorang sastrawan bahwa seorang sastrawan adalah manusia biasa. Pertanyaan anak bukanlah sekadar bertanya.

Selaku guru, penulis merasa mendapat kepuasan batin setelah  melakoni proses pembelajaran sastra dengan menghadirkan sastrawan ke dalam kelas. Model semacam ini akan menjadi motivasi untuk mencari alternatif yang lain sehingga pembelajaran sastra di kelas menjadi lebih bervariasi, bukan monoton. Guru hanyalah salah satu nara sumber belajar. Inilah sebuah strategi pembelajaran sastra dalam menguapayakan hasil pembelajaran lebih baik.

 

0 komentar: