Tribana

Ini Adalah Blog pribadi saya yang bercerita tentang suka duka menjadi GURU

05.22

PEMBINAAN GURU DAN MUTU PENDIDIKAN

Diposting oleh Tri Bana

 

          Masalah guru menghangat lagi pada peringatan hari ulang tahunnya walaupun persoalannya klasik—seputar kesejahteraan guru. Pada peringatan tahun lalu (2001) sudah diwacanakan tentang upaya mensejahteraan para guru. Para guru senang mendengarnya ketika itu. Sampai setahun (pada peringatan HUT PGRI, 25 Nopember 2002) peningkatan tunjangan fungsional belum terealisasi karena kemampuan keuangan negara belum memungkinkan. Guru pun memaklumi kondisi keuangan negara. Hanya ketimpangan gaji dengan birokrat dan anggota legeslatif yang membuat guru merasa kurang diperhatikan.

          Apa yang diwacanakan pada peringatan hari guru merupakan perhatian berbagai kalangan betapa pentingnya  kesejahteraan guru untuk meningkatkan mutu pendidikan. Mutu pendidikan kita masih jalan di tempat—jika tidak bisa dikatakan mundur—dibandingkan negara tetangga yang pernah belajar dari guru-guru Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah kualitas guru beberapa puluh tahun terakhir ini semakin menurun. Indikatornya, rendahnya daya saing para lulusan. Para lulusan menambah antrean panjang pengangguran.  Indikator lainnya rendahnya mutu pendidikan adalah perilaku anak/siswa yang memprihatinkan—tentu tidak semuanya.

Perilaku siswa adalah cerminan kondisi guru. Beberapa gurunya di sekolah tidak lagi mendidik, melainkan hanya mengajar sehingga sudah merasa puas hanya dengan deretan angka di rapor/STTB. Besarnya angka-angka itu—yang sering palsu—dijadikan indikator meningkatnya mutu pendidikan. Indikator yang palsu ini telah menyesatkan.

          Dalam konteks Bali, apa yang bisa dijadikan indikator mutu pendidikan dari segi perilaku? Sebelum ada penelitian ilmiah oleh para pakar, tampaknya penerapan “tri hita karana” bisa dijadikan tolok ukur. Keperdulian terhadap sesama manusia dan lingkungan masih jauh dari harapan juga merupakan  cermin keyakinan terhadap Tuhan. Bagaimana bisa penerapan karena mereka dijejali dengan hapalan-hapalan yang tidak terlalu penting dalam keseharian. Mestinya mereka belajar itu untuk kebutuhan hidup secara fisik (sisi intelek) dan nonfisik (sisi kematangan emosi, spirit). Perilaku anak banyak yang belum seirama dengan nilai-nilai “tri hita karana” maupun tujuan pendidikan  secara nasional (dalam GBHN).

          Kembali ke masalah kualitas guru, bagaimana sesungguhnya kualitas guru di SD, SLTP, SMU, SMK? Dari segi ijazah tampaknya  memadai bahkan banyak melampaui syarat minimal bahkan mengantongi ijazah Magister (S2). Dengan dilampaui syarat minimal belum menjadi jaminan pula kinerjanya lebih baik. Motivasi para guru mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi sangat menentukan. Tidak banyak yang bisa diharapkan kalau motivasi hanya mencari gelar.

          Sehubungan dengan peningkatan kualitas guru, ada baiknya kita kutip pendapat Mohamad Sobari ketika memberikan kata pengantar pada karya-karya Putu Wijaya pada buku Zig Zag (1996) bahwa  sebuah kearifan hanya bisa dicapai lewat pergulatan hidup. Apa yang bisa kita tafsirkan dalam konteks guru? Tampaknya para guru kita belum banyak bergulat dalam meningkatkan kualitas dirinya selaku guru. Keikutsertaanya dalam seminar, lokakarya, pelatihan, lebih banyak karena sertifikatnya atau perintah atasan. Ternyata kegagalannya selalu dilimpahkan kepada orang lain, seperti siswa, orang tua, atasan, masyarakat walaupun ada benarnya. Bergulatlah untuk mengatasi semua hambatan itu.

Ada guru tidak mau masuk kelas beberapa kali karena masalah sepele. Sikap guru yang suka  ngambul ini tentulah belum bisa dikatakan dewasa. Fenomena guru “ngambek” ini bukan asing lagi di mata anak. Karena guru tidak membiasakan murid untuk protes, maka persoalan guru yang belum dewasa ini nyaris tidak terdengar. Kepala sekolah pun ewuh pakewuh dan tidak melaporkan gurunya yang sering ngambek ini kepada atasannya—mungkin  takut dikatakan tidak bisa membina.

          Pembinaan guru sangatlah penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pembinaan guru selama ini adalah dari kepala sekolah dan pengawas. Karena sibuknya kepala sekolah menerima tamu, masalah administrasi  dan keuangan sering kinerja guru di kelas tidak terpantau. Pengawas pun jarang memantau ke kelas dengan berbagai alasan. Pengawas tampaknya belum menyadari bahwa pembinaannya sangat berarti dalam meningkatkan kinerja guru. Membina guru hanya lewat kehadiran di waktu rapat untuk berceramah tidak akan banyak meningkatkan kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sebetulnya Depdiknas telah berupaya meningkatkan kinerja para pengawas dengan cara menjadikan pengawas mata pelajaran. Pelaksanaannya? Masih seperti dulu yakni pengawas sekolah. Entahlah di mana hambatannya.

          Pengangkatan pengawas dari Pemkot/Pemkab hendaknya bukan lagi menampung usia pensiun atau karena mantan pejabat. Profesionalisme betul-betul menjadi pertimbangan dan yang tidak kalah pentingnya adalah tunjangannya. Ataukah, para bupati/walokota lupa akan pentingnya kehadiran seorang pengawas sekolah yang profesional sehingga masalah profesionalisme pengawas kurang mendapat perhatian. Misalnya, bagaimana bisa melaksanakan tugas untuk membina guru kalau tidak pernah menjadi guru. Menjadi pengawas bukanlah memarahi guru, melainkan membina bahkan sebagai mitra kerja. Bila perlu, pengawas memberikan contoh cara pembelajaran materi tertentu jika guru mengalami kesulitan di kelas.

           Sehubungan pembinaan guru, penataran/pelatihan guru sering dikatakan menghabiskan dana yang tidak sedikit namun belum banyak berarti dalam peningkatan kinerga para guru. Pendapat ini ada benarnya. Ada beberapa kendala/kelemahan yang ada. Pertama, motivasi guru—tentu  tidak semuanya—sangat rendah dalam mengikuti kegiatan. Mereka sekadar ikut karena taat perintah kepala sekolah atau sekadar mendapatkan serifikat untuk kenaikan pangkat. Kedua, ada yang berpikir negatif sebelum kegiatan dimulai baik terhadap nara sumber atau guru pendamping walau guru yang bersangkutan kinerjanya di sekolah belum dapat dikatakan baik. Akhirnya, beberapa pengalaman berharga dalam pelatihan lewat negitu saja. Ketiga, ada guru terlalu banyak berharap namun tanpa kreatif dalam kegiatan. Semestinya dalam kegiatan inilah terjadi tukar pengalaman atau berdiskusi tentang permasalahan yang dihadapi di sekolah. Keempat, sistem pelatihan perlu disempurbakan. Setelah kegiatan seolah proyek sudah selesai. Hendaknya ada  tindak lanjutnya di lapangan. Setelah pelatihan perlu ada pemantauan/pembinaan beberapa bulan di sekolah tempat tugas peserta oleh nara sumber atau tim pelatih (instruktur). Di samping itu pemantauan/pembinaan juga berfungsi untuk mengevaluasi apakah kegiatan pelatihan  efektif atau tidak.

Jadi, kegiatan pelatihan tidak selesai dalam beberapa hari saja sebab akan cendrung teori tanpa praktek. Pelatihan guru sesungguhnya tidak pernah berhenti karena guru adalah seorang pembelejar. Guru tidak akan bisa membelajarkan siswanya kalau ia sendiri tidak belajar atau berlatih terus-menerus.

           

1 komentar:

Dede Rusnadi mengatakan...

tulisannya keren abiss nih,..tp ada referensinya ga nih..heheee