Tribana

Ini Adalah Blog pribadi saya yang bercerita tentang suka duka menjadi GURU

21.57

Anak Bolos Sekolah, Siapa Takut?

Diposting oleh Tri Bana

Anak bolos sekolah bukanlah fenomena baru dalam dunia pendidikan. Bahkan, ada anak merasa senang membolos; entah dengan loncat tembok, mengendap-ngendap ke luar sekolah. Pelakunya, bukan sebatas anak di sekolah menengah, anak SD pun pernah membolos. Bagi anak yang tidak suka dengan gurunya, mereka selalu mencari kesempatan untuk membolos. Rasa takut seperti sudah lenyap begitu saja. Agar tidak dimarahi guru maupun orang tua, anak “kreatif” untuk mencari alasan. Tegasnya, sekolah tidak lagi menjadi tempat menyenangkan tetapi menyiksa.

Pada sekolah yang aturannya ketat lain lagi ceritanya. Sekolah benar-benar dirasakan sebagai penjara. Guru menganut faham wibawa itu identik dengan adanya rasa takut pada anak. Guru siap-siaga untuk menyemprotkan kata-kata yang menyakiti, menjatuhkan mental. Hukuman di sekolah pun tidak lagi dirasakan sebagai curahan rasa kasih sayang, tetapi pukulan yang telak di wajah. Rasa malu pun dialami. Anak yang tidak tahan menanggung malu sering memutuskan pindah sekolah, bahkan berhenti selamanya.


Perlu diberi catatan, bahwa tidak semua anak membolos kondisinya seperti dipaparkan di atas. Ada anak membolos karena payah sehabis olahraga, ikutan kawannya, atau guru tidak hadir tanpa memberikan informasi atau tugas. Dibandingkan dikungkung di dalam kelas, “mendingan pulang tanpa izin” kata murid biasanya. Pada kajian yang lebih luas perilaku bolos-sekolah perlu ditelusuri. Mengapa anak membolos?

Selama ini sekolah (guru) belum banyak mengevaluasi diri mengapa anak membolos. Yang disalahkan biasanya pihak anak, bahkan dengan hukuman yang kurang mendidik. Kalau seorang anak membolos pada mata pelajarannya sering penyelesaiannya dengan “mengeroyok”, seolah anak itu sebagai seorang pesakitan. Hukuman yang diterima anak biasanya tidak boleh ikut pelajaran. Mestinya hukuman itu bersifat mendidik.

Hukuman mendidik adalah hukuman yang tidak membuat anak menjadi lebih bodoh dalam pelajaran (M. Joko Susilo, 2007). Sayang, hukuman mendidik sering tidak dilaksanakan. Guru kurang cerdas secara emosional sehingga hukumannya kurang mendidik; memunculkan rasa takut. Ilmu pendidikan yang pernah dipelajari guru lenyap begitu saja. Membuka komunikasi dengan siswa pun sepertinya “alergi”. Yang muncul egonya si guru. Anak bolos selalu didentikkan dengan anak yang “kurang ajar”, anak yang perlu diberi hukuman agar wibawa guru tidak jatuh. Hasilnya? Tetap saja ada anak yang membolos karena hukumannya tidak mendidik.
Memang selama ini anak yang membolos menerima saja hukuman yang dikenakan kepadanya. Jika ada seorang anak cerdas juga membolos, maka perlu dijadikan renungan oleh pihak guru atau sekolah. Jangan-jangan si anak sudah berpikir, “Untuk apa saya sekolah, kalau yang dipelajari tidak memberikan manfaat dalam kehidupan nyata?” Pendapat ini sepertinya benar. Sejumlah fakta dihapalkan siswa untuk tes ternyata setelah tamat tidak memberikan manfaat, tidak bisa menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.

Menurut Muchlas Samani (2007) ada yang salah dalam pendidikan kita. Samani, seorang Profesor Universitas Ngeri Surabaya, mengutip kata-kata anak muda di beberapa tempat yang mengatakan bahwa pendidikan saat ini terlalu teoritis, terlalu di awang-awang, dan tidak terkait dengan kehidupan nyata. Misalnya, anak-anak belajar ilmu ekonomi ternyata tidak tahu bagaimana caranya berdagang. Anak belajar matematika (berhitung) tetapi tidak mampu memperhitungkan apa yang harus dilakukan dalam kehidupan ini. Anak-anak belajar ilmu alam tetapi tidak mampu memanfaatkan alam. Anak belajar bahasa tetapi tidak mampu berkomunikasi yang efektif. Anak belajar sejarah tetapi kurang mampu menghargai nilai-nilai sejarah.


Samani juga mengutip apa yang pernah dikatakan Rendra (1975), bahwa sejak tahun 1970-an ada ketidakberesan dalam pendidikan kita. Anak kurang merasakan kemanfaatannya dalam kehidupan nyata. Sindhunata (2002) pun mengatakan bahwa pendidikan hanya menghasilkan air mata. Dengan demikian, sudah saatnya kita mencari solusi agar pendidikan benar-benar mampu mengantarkan anak didik, menyiapkan diri guna menghadapi masa depannya.
Samani mengajukan pertanyaan, “Apakah materi yang dipelajari anak-anak sudah tepat?” Faktanya, guru lebih banyak memberikan materi untuk untuk ujian (UN), masih jauh dari kehidupan nyata. Anak pun kurang sempat menggali potensi yang ada pada dirinya padahal setiap anak yang dilahirkan punya bakat untuk bisa dikembangkan. Berdasarkan apa yang pernah dikutip oleh Samani, bahwa siswa terkuras tenaga dan pikirannya semata-mata untuk mempelajari sesuatu yang dirasakan tidak bermanfaat dalam kehidupan. Karena itu, wajar anak membolos khususnya anak yang menyadari untuk apa mereka belajar.


Menurut Sir William Haley, seperti yang dikutip Andrias Harefa (2001), pendidikan akan jauh lebih efektif jika tujuannya adalah memastikan bahwa saat anak meninggalkan sekolah, mereka mengetahui betapa banyak yang belum diketahui untuk dapat mempertahankan seluruh kehidupan berikutnya dengan penuh gairah. Jadi, pendidikan itu harus memberikan manfaat dalam kehidupan nyata, bukan sekadar menghapalkan fakta-fakta yang tidak bisa mereka manfaatkan.
Memperhatikan sejarah kehidupan orang-orang sukses dalam kehidupan nyata, Samani telah menemukan bahwa sikap dan perilaku menjadi kunci sukses seseorang. Sukses tidak hanya dalam materi dan karier, tetapi juga dalam kemasyarakatan maupun ibadah. Sikap dan perilaku itu diperoleh lewat pendidikan yang bermakna—entah formal atau nonformal. Samani menyebutnya kecakapan hidup atau life skill. Kecakapan hidup yang dimaksudkan bukanlah sekadar punya keterampilan, melainkan kreatif dalam arti luas.

Presatasi dalam UN tidak identik dengan keberhasilan dalam kehidupan nyata. Wajarlah prestasi akademis sesaat (nilai yang tinggi di rapor dan ujian) tidak menjamin berhasil dalam kehidupan nyata—jika tidak kreatif. Pendidikan yang bermutu pastilah memalui proses yang kreatif, bukan sebatas hapalan. Sepanjang pembelajaran tidak kreatif, maka anak merasakan sebagai pengekangan. Karena itu muncullah niat membolos. Bukankah tidak sedikit pula orang sukses waktu menjadi siswa termasuk anak yang suka bolos? Maaf, jangan diartikan bahwa penulis setuju dengan perilaku membolos.
• IGK Tribana

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Live Poker Open near me - LA Sports Betting dafabet dafabet 카지노 카지노 562WinStar Concerts July 2019 Concert Tickets - RideNJ