Masalah guru menghangat lagi pada peringatan hari ulang tahunnya walaupun persoalannya klasik—seputar kesejahteraan guru. Pada peringatan tahun lalu (2001) sudah diwacanakan tentang upaya mensejahteraan para guru.
Apa yang diwacanakan pada peringatan hari guru merupakan perhatian berbagai kalangan betapa pentingnya kesejahteraan guru untuk meningkatkan mutu pendidikan. Mutu pendidikan kita masih jalan di tempat—jika tidak bisa dikatakan mundur—dibandingkan negara tetangga yang pernah belajar dari guru-guru
Perilaku siswa adalah cerminan kondisi guru. Beberapa gurunya di sekolah tidak lagi mendidik, melainkan hanya mengajar sehingga sudah merasa puas hanya dengan deretan angka di rapor/STTB. Besarnya angka-angka itu—yang sering palsu—dijadikan indikator meningkatnya mutu pendidikan. Indikator yang palsu ini telah menyesatkan.
Dalam konteks
Kembali ke masalah kualitas guru, bagaimana sesungguhnya kualitas guru di SD, SLTP, SMU, SMK? Dari segi ijazah tampaknya memadai bahkan banyak melampaui syarat minimal bahkan mengantongi ijazah Magister (S2). Dengan dilampaui syarat minimal belum menjadi jaminan pula kinerjanya lebih baik. Motivasi para guru mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi sangat menentukan. Tidak banyak yang bisa diharapkan kalau motivasi hanya mencari gelar.
Sehubungan dengan peningkatan kualitas guru, ada baiknya kita kutip pendapat Mohamad Sobari ketika memberikan kata pengantar pada karya-karya Putu Wijaya pada buku Zig Zag (1996) bahwa sebuah kearifan hanya bisa dicapai lewat pergulatan hidup. Apa yang bisa kita tafsirkan dalam konteks guru? Tampaknya para guru kita belum banyak bergulat dalam meningkatkan kualitas dirinya selaku guru. Keikutsertaanya dalam seminar, lokakarya, pelatihan, lebih banyak karena sertifikatnya atau perintah atasan. Ternyata kegagalannya selalu dilimpahkan kepada orang lain, seperti siswa, orang tua, atasan, masyarakat walaupun ada benarnya. Bergulatlah untuk mengatasi semua hambatan itu.
Pembinaan guru sangatlah penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pembinaan guru selama ini adalah dari kepala sekolah dan pengawas. Karena sibuknya kepala sekolah menerima tamu, masalah administrasi dan keuangan sering kinerja guru di kelas tidak terpantau. Pengawas pun jarang memantau ke kelas dengan berbagai alasan. Pengawas tampaknya belum menyadari bahwa pembinaannya sangat berarti dalam meningkatkan kinerja guru. Membina guru hanya lewat kehadiran di waktu rapat untuk berceramah tidak akan banyak meningkatkan kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sebetulnya Depdiknas telah berupaya meningkatkan kinerja para pengawas dengan cara menjadikan pengawas mata pelajaran. Pelaksanaannya? Masih seperti dulu yakni pengawas sekolah. Entahlah di mana hambatannya.
Pengangkatan pengawas dari Pemkot/Pemkab hendaknya bukan lagi menampung usia pensiun atau karena mantan pejabat. Profesionalisme betul-betul menjadi pertimbangan dan yang tidak kalah pentingnya adalah tunjangannya. Ataukah, para bupati/walokota lupa akan pentingnya kehadiran seorang pengawas sekolah yang profesional sehingga masalah profesionalisme pengawas kurang mendapat perhatian. Misalnya, bagaimana bisa melaksanakan tugas untuk membina guru kalau tidak pernah menjadi guru. Menjadi pengawas bukanlah memarahi guru, melainkan membina bahkan sebagai mitra kerja. Bila perlu, pengawas memberikan contoh cara pembelajaran materi tertentu jika guru mengalami kesulitan di kelas.
Sehubungan pembinaan guru, penataran/pelatihan guru sering dikatakan menghabiskan dana yang tidak sedikit namun belum banyak berarti dalam peningkatan kinerga para guru. Pendapat ini ada benarnya.
Jadi, kegiatan pelatihan tidak selesai dalam beberapa hari saja sebab akan cendrung teori tanpa praktek. Pelatihan guru sesungguhnya tidak pernah berhenti karena guru adalah seorang pembelejar. Guru tidak akan bisa membelajarkan siswanya kalau ia sendiri tidak belajar atau berlatih terus-menerus.
1 komentar:
tulisannya keren abiss nih,..tp ada referensinya ga nih..heheee
Posting Komentar