Untuk mata pelajaran sastra, ujian tahun 2005 ini beda dengan ujian tahun-tahun sebelumnya. Di era-EBTANAS, mata pelajaran sastra menjadi salah satu ujian nasional—soal dari pusat. Setelah UAN menjadi ujian sekolah yang diselenggarakan oleh provinsi (
Setelah ditetapkannya ada ujian praktik, guru sastra, penggiat sastra, dan pecinta sastra ujian praktek sastra ini akan membuat keningnya mengkerut beberapa saat. Namun yang pasti, adanya ujian praktik, sebagian guru sastra menyambutnya dengan gembira karena dapat mengajak siswa beraktivitas di bidang sastra lebih bersungguh-sungguh dalam kegiatan belajar-mengajar. Guru yang lainnya, ketika pertama kali sastra ada ujian praktek, tentu ada yang terperangah “Sekarang ada ujian praktik sastra? Mengapa mata pelajaran sastra ada praktik? Bagaimana wujudnya?” Dan, sejumlah pertanyaan lainnya. Maklumlah, karena baru pertama kali ada ujian praktik sastra.
Bagaimana sebaiknya guru sastra menyikapi ujian praktek ini? Kompetensi apa yang diharapkan oleh guru dalam ujian praktek ini harus jelas berdasarkan kurikulum yang berlaku. Menurut ketentuan atau petunjuk yang ada, bentuk ujian praktek sastra adalah lisan dan tertulis. Bagaimana bentuk ujian dalam operasionalnya, guru harus merincinya dengan presedur ujian. Operasionalnya dijabarkan lagi oleh guru mengingat keterbatasan waktu dan tenaga penguji. Di samping itu guru tentu memperhatikan pula misi pembelajaran sastra.
Tampaknya wawasan seorang guru mata pelajaran sastra akan sangat mewarnai wujud ujian praktek mata pelajaran sastra ini. Apakah ujian praktik itu sekadar jalan untuk mencari nilai atau dirancang untuk meningkatkan mutu pembelajaran sastra itu sendiri. Guru sastra pasti mengetahui bahwa potensi murid tidak sama dalam menekuni bidang sastra.
Berdasarkan kenyataan di atas, guru perlu mempertimbangkan dari berbagai segi. Guru hendaknya juga membuat pelajaran sastra tidak dibenci oleh anak. Katakanlah semua siswa diberikan ujian praktik yang sama, misalnya: membaca puisi, atau menulis cerita pendek. Jika setiap siswa melaksanakan seperti itu dalam mata pelajaran sastra, tentu akan merugikan pembelajaran sastra. Jangankan siswa, para penekun sastra seperti guru, bahkan seniman sastra pun jarang menguasai semua kompetensi dalam bersastra. Dari ratusan bahkan ribuan penulis karya sastra, sangat jarang penulis novel juga menjadi penulis puisi yang baik. Sangat jarang pula kritikus atau apresiator sastra bisa menjadi penyair atau penulis cerpen yang baik. Mungkin di seluruh
Mata pelajaran sastra memang agak unik. Mata pelajaran sastra berbeda dengan mata pelajaran lain, apalagi kalau dibandingkan dengan mata pelajaran yang menekankan kepada penguasaan keilmuan, seperti: sosiologi, kimia, biologi. Kalau dalam mata pelajaran lain, perbedaan pendapat itu sedapat mungkin ditiadakan, maka dalam pelajaran sastra perbedaan pendapat itu mendapat tempat yang subur khususnya dalam mengapresiasi karya sastra asal disertai dengan alasan yang kuat. Dalam menanggapi atau menghasilkan sebuah karya sastra, kesenjangan guru-murid sedapat mungkin diminimalisasi. Guru-murid memiliki hak yang sama dalam mengapresiasi sebuah karya sastra. Kalau guru sengaja membuat situasi agar pendapatnyalah yang benar, maka dapat dipastikan guru itu kurang memahami apa itu sastra. Tipe guru seperti ini sebaiknya tidak bertugas sebagai guru mata pelajaran sastra.
Mengingat mata pelajaran sastra itu agak unik, maka sebaiknya guru memberi pilihan kepada murid untuk memilih aktivitas bersastra mana yang akan dipilih. Jika seorang murid ingin memilih aktivitas membaca puisi atau bermain drama tentulah harus diberikan kesempatan, apalagi guru tahu anak itu memang punya potensi di bidang baca puisi atau bermain drama. Anak yang lain, jika ada yang memilih menulis cerpen tentulah diberikan kesempatan lebih-lebih si anak itu telah produktif mengahsilkan cerita pendek yang telah dimuat di berbagai media. Demikian pula jika si anak hanya mampu menjadi seorang pengapresiasi atau kritikus sastra, tentulah diberi kesempatann pula.
Kalau model ujian praktik sastra telah memberi kesempatan kepada siswa memilih sesuai dengan kompetensinya, maka kesungguhan anak untuk berativitas dalam bersastra akan semakin terbuka. Mereka tidak mengalami ketakutan untuk menguasai materi ujian secara kuantitas, melainkan akan lebih mengarah kepada kondisi kualitas dalam bersastra. Kalau ternyata ada segelintir anak yang punya kompetensi di berbagai karya sastra disertai bisa menjadi pengapresiasi yang baik adalah suatu nilai lebih baginya dan layak diberikan nilai yang maksimal (nilai sepuluh) untuk praktik sastra.
0 komentar:
Posting Komentar